Membayangkan Menjadi Wartawan

Kita pantas bersyukur atas karunia Allah Swt. yang telah memberikan naluri ingin tahu (bertanya) dan naluri ingin memberi tahu (bercerita) kepada manusia. Karena menonjolnya kedua naluri ini, keduanya menjadi hak manusia yang harus dilindungi. Aturan universal yang melindunginya terdapat pada Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Senada dengan aturan tersebut, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen, memuat pula mengenai hak tersebut. Tanpa itupun sebenarnya setiap orang sudah harus memiliki kebebasan untuk mengetahui dan memberitahukan sesuatu kepada sesamanya.

Namun karena keterbatasannya, hak-hak tersebut didelegasikan kepada wartawan. Wartawan diamanahi oleh khalayak untuk mencari tahu dan memberitahukan fakta atau realitas yang benar. Selain itu, wartawan harus memperhatikan nilai-nilai berita sebelum menyajikan realitas dalam media massa bahkan sebelum melakukan wawancara. Adapun acuannya yaitu: penting, kedekatan, aktualitas, ukuran, ternama, konflik, seksualitas, emosi, luar biasa, konsekuensi, kemajuan, mukjizat, dan tragedi.

Setelah salah satu acuan tersebut terpenuhi, barulah wartawan dapat melakukan “perburuan”. Banyak-sedikit dan tinggi rendahnya kualitas hasil “perburuan” sangat bergantung kepada kekayaan wartawan tersebut. Kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan intelektual dan emosional serta kekayaan sosial dan rohaniahnya. Sebagai salah satu bentuk “perburuan”, wawancara pun harus cermat diperhitungkan oleh seorang wartawan dengan memilih jenis pertanyaan. Kualitas jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara. Dengan sikap yang profesional, wartawan tentunya akan dapat melaksanakan mandat yang diemban dari khalayak yang sangat mengharapkan kebenaran. Untuk melaksanakan tugas itu, wartawan harus bebas dan harus lepas dari iming-iming imbalan.

“Kalau saya harus memilih antara Pers bebas dan dengan pemerintah, maka saya akan pilih pers bebas”, demikianlah yang dikemukakan oleh Thomas Jefferson. Beliau mencoba memberikan sebuah ilustrasi dimana pers yang bebas aadalah lebih baik daripada pemerintah yang tidak dikontrol. Ilustarasi diatas jika ditarik dalam konteks Indonesia, maka hal itu mungkin terlihat naïf, dan jauh dari realitas. Indonesia pasca keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah dilanda euphoria kebebasan. Implikasi dari kebebasan ini salah satunya ialah kebebasan pers, dimana pemerintah atau siapa pun tidak diperkenankan untuk mengatur dan mendikte pers mengenai pemberitaan dan menghalangi pers untuk memberikan kritik terhadap pemerintah.

Tuntutan seperti ini dapat dipahami dari dua sudut pandang yang pertama dalam kerangka kesejarahan dimana ada sebuah trauma masa lalu yang telah dialami pers Indonesia dalam era Orba, kita bisa mencatat beberapa kasus yang menunjukan represifitas terhadap pers ketika pemberitaannya tidak berkenan di hati penguasa, pembredelan majalah Tempo, kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin di Bantul dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Yang kedua terkait dengan tuntutan demokratisasi akhir-akhir ini independensi pers merupakan sebuah tuntutan mutlak bagi berjalannya sebuah proses demokrasi, dikarenakan pers selama ini telah berfungsi sebagai “The fourth estate” pilar keempat dari negara demokrasi selain legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dimana menurut Montesque harus ada pemisahaan terhadap ketiga hal tersebut, dan seiring dengan perkembangan zaman maka pers dianggap merupakan lembaga yang keempat dan harus terpisah dari ketiga lembaga lainnya.

Permasalahan yang timbul disini ialah adanya ekses dari kebebasan pers, yaitu terkait dengan keprofesiaan wartawan dimana sering terjadi penyalahgunaan dari press card untuk mendapatkan uang, hal ini bisa dilihat dari adanya sebuah pameo dikalangan wartawan jika ada seorang waratawan meminta gaji pada penerbitnya untuk meminta gaji, penerbitnya menjawab buat apa kamu memiliki pers card. Dimana hal ini menandakan kartu pers tersebut harus digunakan[1], dalam mencari nafkah hal ini bisa kita temukan didalam pada saat ini dengan sebutan Wartawan Amplop.

Implikasi terhadap penyalahgunaan profesi pers ini akan berdampak sangat luas, dimana tidak hanya hal ini mengancam kebebasan pers itu sendiri, tapi juga mengancam proses demokrasi, dan yang lebih penting ialah untuk mencegah terjadinya tirani pers dimana pers akan dijadikan alat politik karena adanya sogokan untuk membuat berita dan wartawan amplop bisa digunakan kearah tersebut, hal ini dikarenakan kemampuan untuk memanipulasi yang dimiliki oleh pers sangatlah luar biasa. Kemampuan ini dapat kita ilustrasikan sebagai berikut, ada mahluk asing yang akan segera menyelesaikan desertasinya untuk mengambil Phd, dimana dia akan meriset tentang Permainan Sepak Bola berdasarkan pemeberitaan surat kabar yang ada diperpustakaan dalam desertasinya dia menggambarkan bahwa sepak bola merupakan permainaan yang menarik dan dia dinyatakan lulus. Setelah menyelesaikan studinya dia diberi kesempatan untuk menonton sepak bola langsung di Bumi, ternyata dia sangat kecewa dengan hal tersebut dan seharusnya dia tidak lulus karena dari 90 menit pertandingan hanya 5 atau 10 menit saja yang seru. Dan karena dia tidak pernah melihat permainan sepak bola sebelumnya, sehingga dia menarik kesimpulan bahwa sepak bola tersebut hanya seru 5 menit seperti yang diceritakan dikoran. Hal demikian menunjukan kemampuan memanipulasi yang sangat luar biasa, bahkan Hitler menyadari hal ini dan menjadikannya alat propaganda dan ada sebuah pameo yang terkenal darinya “kebohongan yang diberikan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran” dan kebohongan ini disebarluaskan menggunakan media sebagi sarananya.


dari berbagai sumber

Makna Waktu

Untuk memahami makna satu tahun
Tanyalah seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikan kelas
Untuk memahami makna satu bulan
Tanyalah seorang ibu yang melahirkan bayi prematur
Untuk memahami makna satu minggu
Tanyalah seorang editor majalah mingguan
Untuk memahami makna satu hari
Tanyalah seorang pekerja dengan gaji harian
Untuk memahami makna satu jam
Tanyalah seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya
Untuk memahami makna satu menit
Tanyalah seseorang yang ketinggalan kereta
Untuk memahami makna satu detik
Tanyalah seseorang yang selamat dari kecelakaan
Untuk memahami makna satu mili detik
Tanyalah seorang pelari yang meraih medali perak Olimpiade

Dan akhirnya, sadarkah Anda bahwa waktu terus berlalu?
Siapkah Anda mempertanggungjawabkan kepada Allah
bagaimana Anda menggunakan setiap mili detik waktu Anda?

Lewat Radio, Setelah Sebelumnya Kertas, Lalu Apa

"Pendidikan (bisa jadi) tertinggal dengan teknologi, (namun) yang disiapkan (dalam pendidikan) adalah pola pikir adaptif dengan kemajuan. Teknologi hanyalah alat."

Teknologi Komunikasi hingga kini masih terus mengalami perkembangan. Kita masih berada pada waktu yang berputar dan bergerak. Begitu pula dengan teknologi. Akan ada hal-hal yang baru yang mungkin saat ini masih hanya sebatas angan tetapi di kemudian hari mungkin teknolgi tersebut adalah bagian dari keseharian kita. Manusia masih akan terus memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan teknologi yang akan memberikan kemudahan kepadanya (manusia).

Mungkin tak terbayangkan pula di zamannya (zaman media cetak merajalela), sebuah teknolgi komunikasi bernama radio dapat hadir di tengah peradaban manusia. Penggunaanya serta kontennya terus berkembang sejak ditemukannya peranti keras tersebut. Berbagai muatan pun masuk ke dalam siarannya. Dapat disebutkan di antaranya yaitu penggunaan di bidang militer, hiburan, "corong" pemerintah, dan tidak ketinggalan yaitu bidang jurnalistik. Tentu saja bidang yang disebut terakhir ini mengalami penyesuaian dari sisi penyajian mengikuti karakteristik media itu sendiri, setelah sebelumnya melekat dengan media cetak.


Kajian tentang karakteristik radio tersebut dapat kita pelajari sekarang. Disebutkan bahwa karakter radio tersebut adalah auditif, sederhana, dan tanpa batas. Dengan "keauditifannya", radio dituntut mampu memciptakan Theatre of Mind tapi tetap antidetail karena radio itu selintas tanpa bisa diulang. Penyampaiannya harus tetap sederhana karena memang mekanisme kerjanya cukup sederhana. Dapat dimaklumi bila ada yang menganggap bahwa radio adalah Secondary Media atau dapat disebut pula Half Ears Media karena (siaran) media ini dapat dinikmati sambil lalu. Walaupun demikian, ihwal kecepatan informasi (aktualitas) radio adalah jawaranya. Selain itu, penyajian informasi via radio ini bersifat langsung layaknya dalam sebuah percakapan, sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa tutur. Dengan demikian, bahasa yang digunakan pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan bahasa di media cetak.

Kekhawatiran akan punahnya media yang telah ada akibat "kelahiran" media yang lebih baru tentu menyeruak ke permukaan. Namun, hal itu pada kenyataannya tidak terjadi. Masing-masing media menempati porsinya masing-masing karena memiliki karakteristik yang berbeda.

Hal ini perlu diingatkan kembali bahwa terjadi dalam "persaudaraan" media cetak dan media elektronik yang diwakili radio. Buktinya penemuan teknologi komunikasi yang lebih baru lagi yaitu televisi terbukti cukup "menggoyang" eksistensi media elektronik pendahulunya yaitu radio. Bahkan saat ini eksistensi televisi pun mampu menurunkan oplah media cetak secara tidak langsung akibat aksesnya yang lebih luas, selain dari kemudahan dalam menikmatinya. Manusia dapat lebih bersantai menikmati informasi sambil menonton dan mendengar dibanding harus membaca. Namun di samping itu, dari lihat (baca), dengar, dan lihat dan dengar pun, perkembangan media beserta jurnalistik masih turut menyertai.

Perkembangan teknologi informasi tidak berhenti di sana. Tuntutan sebuah media untuk tetap adaptif terhadap perubahan kembali harus diterima media cetak maupun elektronik. Hal ini dipicu oleh hadirnya media online yang sejalan dengan berkembangnya jaringan internet. Kembali sebuah shock therapy harus dirasakan media-media terdahulu (cetak yang terdiri dari koran dan majalah; elektronik yang terdiri dari radio dan televisi). Penyesuaian harus dilakukan.

Lahirlah apa yang disebut konvergensi media yang dibidani oleh Roger Fidler pada tahun 1998. Dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan konvergensi itu, sebuah media memadukan yunsur cetak ang berkomposisikan teks dan gambar, juga unsur elektonik yaitu suara dan video dalam sebuah media. Itulah media konvergen.

Melihat fenomena terakhir, kembali media harus kembali pada karakternya dan menguatkan karakternya tersebut, sehingga ancaman kepunahan takkan pernah terjadi. Misalnya saja radio, ia harus bisa kembali dan tetap lokal tanpa mengesampingkan kemajuan global. Mungkin begitu pula seharusnya televisi. Alasannya mencakup aspek ekonomi agar tidak berpusat di ibukota (tempat berkumpulnya korporasi media), lalu signifikasi isi dengan kebutuhan dan dinamika setempat, dan terakhir keanekaragaman budaya dan kearifan lokal dapat terjaga supaya tidak terjadi penjajahan kultural dan budaya massa yang melampaui batas.

Setuju Rokok Diharamkan ?

assalamualaikum wr.wb

Wacana masalah pelarangan rokok ini memang dahsyat tetapi kurang greget. MUI baru-baru ini mengumumkan bahwa rokok adalah haram bagi orang Islam. Mengapa hanya ditujukan kepada orang Islam? Pertanyaan ini sederhana saja, karena tidak mungkin semua orang akan mematuhi peraturan tersebut. Indonesia bukan negara Islam tapi negara yang mayoritas Islam. Dalam mayoritas itu pun tidak semua fanatik dengan Islam. MUI juga tidak memiliki track records yang baik. Ambil simplenya saja, peraturan pemerintah melarang rokok betebaran di Jakarta saja diabaikan apalagi peraturan MUI. Bukan maksud meremehkan tetapi begitulah kondisi masyarakat Indonesia yang kebanyakan “do not obey the rule” . Itulah yang saya tangkap dari penduduk Indonesia.

Pemerintah yang merupakan kekuasaan tertinggi di suatu negara saja tidak dapat melakukan apa-apa untuk menghentikan laju asap yang keluar masuk. Keluar ke udara dan masuk ke paru-paru. Bagaimana kita menyikapi rokok? Setuju rokok diharamkan atau tidak? Apalagi cukai rokok sangat membantu ekonomi Indonesia. Beberapa orang mungkin setuju dan beberapa lainnya tidak. Saya termasuk orang yang tidak setuju. Tidak setuju dalam artian bahwa peraturan ini mungkin saja menjadi sia-sia dan makin banyak para penghisap baru bermunculan. Hal ini bisa jadi karena faktor penasaran mengapa rokok itu diharamkan. Ada apa di dalam rokok sehingga diharamkan.

Sisi baiknya dari pengharaman rokok adalah kandungan yang ada pada rokok yang sudah diketahui oleh semua orang. Untuk apa merokok jika tidak menguntungkan bagi diri sendiri. Saya juga heran mengapa saya merokok. Pengharaman tersebut sangat rasional mengingat banyaknya tingkat kematian yang diakibatkan oleh rokok. Dosen hebat sekaliber Pak Sahala pernah berucap bahwa tingkat konsumsi yang paling tinggi adalah rokok dan short message service yang berada di urutan kedua.

Bagi para penikmat, hisapan rokok merupakan sebuah rasa kebebasan. Pernah saya bertemu dengan seorang teman yang menganggap rokok sebagai wanita. Berikut adalah petikan percakapannya :

A = menghisap rokok yang baru saja dibakar :

aduhai cantik

B = terheran-heran :

mana yang cantik, yang pake baju apa?”

A = menjawab :

bukan cewek dodol, tapi ini nih (rokok). Nikmat bener

Begitulah kira-kira percakapan seorang teman yang candu oleh rokok. Tidak ada alasan yang pasti mengapa orang tersebut merokok. Jadi apa mungkin fatwa-fatwa atau peraturan mengenai pengharaman rokok akan dilaksanakan atau malah hanya menjadi kelitikan di telinga saja. Baik dan buruk berbeda tipis. Baik dapat menjadi buruk dan begitu sebaliknya. Memakai kalimat Haekal a.k.a Baw, “Persepsi tidak bisa disengaja-samakan”. Memakai kalimat Amee, “tolol di mata A bisa menjadi keren di mata B”. Kita tunggu kabar aksi selanjutnya.


*Merokok dapat menyebabkan kanker, kanker lagi (kantong kering), gangguan kehamilan serta janin, serangan jantung, impotensi, mulut berbau tidak sedap, polusi, ditolak berciuman, batuk, kesundut, gigi berkerak dan sejenisnya lah… keren, funky, anak jaman sekarang.


Satu lagi pertanyaan ringan:

Apa bedanya smoker dan sucker? Kedua-duanya sama-sama memiliki arti yang similiar. Smoker adalah perokok dan sucker adalah penghisap. Perokok juga melakukan teknik penghisapan. (bingung sendiri)


wassalamualaikum. wr.wb