Sunda Underground :Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari


Malam minggu 24/10 tampak istimewa di Taman Cikapayang, Jl Ir Juanda. Selain terpampang empat huruf raksasa, DAGO yang pagi harinya bari diresmikan oleh Sekda Kota Bandung Edi Siswadi, di taman bekas pom bensin itu juga suasana tampak meriah, bocah-bocah berpakaian hitam-hitam khas pendekar unjuk gigi. Itulah Penca On the street, salah satu event dalam rangkaian gelaran Helarfest 2009.

Alunan metal khas sunda terdengar berseteru dengan bunyi kendaraan bermotor. Event itu dimulai dengan pertunjukan Karinding, sebuah seni metal tradisi Sunda yang konon bari dimainkan kembali setelah 300 tahun menghilang. Dan sang performer pun bukan orang biasa, malam itu Edy Brokoly tampil memainkan karinding.

Penca on the street hanyalah salah satu dari sekian kegiatan yang digelar oleh Sunda Underground, sebuah gerakan kebudayaan yang berusaha mengembalikan spirit kasundaan di kalangan anak muda. Menurut Dadang Hermawan (36), gerakan ini dinamakan Sunda Underground karena gerakannya pun memang bawah tanah dan berusaha menghindari sebisa mungkin orientasi ataupun persinggungannya dengan dunia politik.

Gerakan ini sendiri menurut Utun-sapaan Dadang buah dari gerakan kasundaan yang cenderung elitis, birokratis, dan politis. “Mereka hanya berdaulat secara politis ketimbang budaya,” katanya. Utun juga menilai, gerakan kasundaan yang ada cenderung menjauhkan kesenian dari massa rakyat. Ia mencontohkan, pertemuan salah satu ormas Sunda terbesar mengadakan pertunjukan kesenian di Hotel Savoy Homman. “Itu kan menjadi elitis sementara untuk menjaga kelestarian seni tradisi ini harus massif, spirit budaya itu milik rakyat, milik semua, bukan hanya milik kaum elite” tegasnya.

Sikap Utun terhadap memang birokrat memang galak. Pernah suatu kali pada acara Ahung Sabale Gandrung, Masyarakat tatar Sunda, tahun 2005 di Pasir Impun, Dada Rosada, Dani Setiawan, ketua umum Paguyuban Pasundan, dan beberpa anggota DPR RI datang. Utun menyuruh mereka duduk di bawah bersama masyarakat lainnya. “Saya waktu itu bilang, saya tidak mengundang bapak, kalopun bapak datang, silahkan bapak berlaku sebagai rakyat,” tuturnya mantap.

Utun menginisiasi gerakan ini pada 2003. Awalnya ia mengadakan acara tumpek indung poe di sumur bandung. Lantas, perlahan menggelar rajahan, ruwatan gunung, dan penca on the street. Bagi Utun, meskipun hanya tampak permukaan, tapi setidaknya Sunda Undergorund minimal bisa mengenalkan Budaya Sunda kepada kalangan muda.

***

Gerakan Sunda Underground mulai memengaruhi anak muda Bandung terutama di komunitas metal metal sejak Utun bersinergi dengan komunitas Ujugn Berung Rebels tahun 2007. Di acara festival metal Bandung Deathfest kedua tahun 2007, Utun yang kebetulan sangat menggandrungi metal metal dan punk rock mulai mengenalkan atribut-atribut kebudayaan Sunda seperti ikat kepala, pin kujang. Pagelaran metal metal tahunan itu juga mempertunjukan debus dan pencak silat, sebuah hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Iman Rachman, salah satu pegiat di komunitas Ujung Berung Rebels mengatakan, embrio semangat kasundaan di kalangan komunitas metal Ujung Berung sudah ada sejak 1995. Kala itu band Sonic Torment menggunakan bahasa Sunda dalam setiap lagu-lagu mereka. Ini hal yang tidak lazim karena tren music pada waktu itu adalah membawakan lagu band luar negeri semirip mungkin.

Sonic Torment bubar pada 1998 dan setelah itu tidak ada lagi band seperti Sonic Torment. Sekitar 2002 semangat kasundaan mulai menunjukan grafik naik, pasalnya komunitas metal ujung berung membuat panggung sendiri karena tren waktu itu adalah Emo. Panggung sendiri dan punya identitas sendiri .

Iman yang biasa dipanggil Kimung ini menuturkan, semangat kasundaan di komunitas metal entah apa sebabnya tiba-tiba menjadi besar dan massif pada 2007. Hal sederhana yang bisa dilihat antara lain penggunaan lambing kujang sebagai logo Bandung Death Metal Syindicate dan pemakaian slogan Panceg Dina Galur. “Itu jelas menunjukan identitas Sunda,” tuturnya.

Kimung mengatakan, sekarang para pentolan di Ujung Berung Rebels seperti Eman (Jasad), Ameng (Disinfected), Okid (Gugat) sudah nyunda. Semua vokalis band cadas ini mulai pake iket, mulai mengajak hadir di acara tumpek kaliwon, tumpek, Kapabaru Sunda, rajahan, dan kegiatan lainnya. Kimung menuturkan, meski tampak secara permukaan,tapi hal itulah yang bisa membangun kesadaran diri dalam. “Setidaknya komitmen komunitas terhadap kasundaa sudah menguat,” ujanrya.

Terlebih, lanjut Kimung, Ujung Berung Rebels sendiri sudah menjadi perhatian global karena banyak periset dari luar negeri seperti Swedia, Amerika, dan Jerman meneliti Ujung berung Rebel. Ia berharap, dengan para kokolot di komunitas ini mulai concern ke Kasundaan sehingga para nonoman (pemuda) juga turut concern pada masalah yang sama. “Lokalitas harus diperkuat jika sudah berbicara pada tataran global, kalo gak mau kelibas” terangnya.

Utun sendiri secara pribadi merasa bahagia melihat perkembangan gerakan kasundaa di kalangan anak muda yang semakin massif. “Pakai ikat kepala, pin kujang dan itu menunjukan kebanggaan jatidiri mereka sebagai orang Sunda,” kata Utun dengan nada sumringah.

***

Untuk membangun sebuah gerakan tentunya butuh pengorbanan, baik tenaga, pikiran, terutama uang. Sunda Underground sendiri berprinsip tidak mau mengemis dana dan kerajinan bikin proposal. “Kalo dikasih ya diterima, tapi kalo minta mah hoream,” ujar Bapak dua anak ini.

Utun bercerita, pernah dia kirim proposal ke pemerintah, prosesnya sangat lama, enam bulan baru bisa cair sedangkan jumlah dana yang cair hanya Rp 250 ribu. “Mending jualan Aqua lah,” kata Utun dengan nada tawa.

Selain itu Utun pernah dua kali menggadaikan BPKB motor. Dari empat gelaran Penca On the street, dua kali gelaran dananya berasal dari kantong pribadi Utun. “Kalo saya punya keinginan, saya sendiri yang harus menjalankan dan pake duit sendiri,” tegasnya. Utun mengaku, selalu rezeki selalu datang dari tempat yang tidak terduga.

Dalam mendanai setiap kegiatan Sunda Underground, Utun lebih suka mengedepankan partisipasi publik untuk menumbuhkan kebanggan atau kareueus. “Kalo mereka udah cinta mah, ada duit ya ngasih, tapi kalo gak cinta, ada duit juga males ngasih,” terangnya.

bisa juga di

http://www.facebook.com/note.php?note_id=169841028429

http://helarfest.com/2009/metal-tapi-nyunda-kenapa-tidak/

Biar Nongkrong Tambah Asyik


Papan beroda itu berbalik 180 derajat di udara sebelum akhirnya menghempas tanah dengan sempurna. Itulah kickflip, salah satu trik dalam permainan skateboard. Sabtu sore itu (24/10), di Taman Cikapayang, Jl Ir. Juanda, Bandung, Andri (18) harus mengulang tujuh kali trik kickflip hingga berhasil mendarat di tanah dengan mulus. Ia berlatih skateboard saban dua hari sekali dalam seminggu di taman bekas Pom bensin tersebut.

Tapi sore itu menjadi tidak biasa bagi Andri, “Saya rada kagok maennya karena ada huruf besar itu,” tuturnya sembari mengelap peluh di kening. Huruf besar yang Andri maksud adalah papan setinggi 3 meter dan lebar 1,5 meter bertuliskan huruf D, A, G, dan O sehingga terbaca “Dago”.

Ornamen ini memang terlihat mencolok sehingga siapapun yang melintas di jalan Dago bisa dipastikan memalingkan mata. Warna hurufnya pun beragam. Huruf “D” berwarna biru, huruf “A” diwarnai merah muda, “G” berwarna hijau muda, dan “O” kuning.

Ornament huruf yang menelan dana Rp 35 juta per huruf itu sejatinya masih replika yang terbuat dari papan triplek. Januari tahun depan, ornament huruf itu akan dibuat secara permanen dari bahan besi tempa. Rancangannya sendiri masih belum final. “Semua desain masih dalam proses, tenang aja,” ujar George Timorison, sang perancang ornamen yang ia sebut proyek itu dengan nama Dago Icon Park.

Pembangunan Dago Icon Park ini tak lain untuk mengoptimalkan ruang publik yang sudah ada. Taman Cikapayang sendiri hari itu tampak seperti proyek setengah jadi. Batu bata merah masih terlihat di antara plester semen yang belum rapih. Tiga tiang lampu yang ada juga tampak kusam dan dari enam bohlam putih hanya tiga yang menyala. Tak ayal, Taman seluas seperempat lapangan bola menjadi temaram. “Kalo tempatnya gak nyaman siapa sih yang mau nongkrong,” kata Ridwan Kamil, ketua Bandung Creative City Forum (BCCF), organisasi yang menggagas pembangunan ornament “Dago”.

Sentuhan Seni

Emil – begitu Ridwan disapa – menambahkan, ruang terbuka akan punya nilai lebih jika diberi setuhan seni sehingga orang betah berlama-lama di taman. “Elemen estetika membuat orang cenderung mau datang untuk melakukan sesuatu, ya foto-foto, ngobrol-ngobrol, ataupun cuman duduk-duduk,” ujar arsitek jebolan Barkeley University ini.

Emil merujuk pada pembangunan ornamen dot bandung:Bandung Creative Emerging City tahun lalu. Menurutnya, setelah pembangunan itu, banyak orang dari luar Bandung berhenti sejenak untuk berfoto sebelum mereka pulang ke kota masing-masing. “yang pre wedding segala juga ada kok, ” katanya sembari tersenyum.

Sekretaris Daerah Kota Bandung, Edi Siswadi, pada acara peresmian ornamen “Dago” (24/10) berharap generasi muda Bandung bisa memacu diri untuk melakukan aktivitas kreatif yang positif dengan adanya ruang terbuka seperti Taman Cikapayang. Edi berpendapat, Taman kota tidak hanya berfungsi sebagai ruang hijau, tapi juga tempat untuk berkreasi. “Semakin banyak kreatifitas positif, tempat seperti Cikapayang juga akan semakin banyak,” ujarnya.

Senada dengan Edi, Emil berharap masyarakat bergairah dalam melakukan aktivitas budaya, seperti setiap komunitas membuat festival, dan merasa kompak dengan komunitas lainnya. “itu investasi budaya yang tidak ternilai,” katanya. Bagi Emil, ide-ide itu hanya akan muncul di masyarakat yang terbuka seperti di Bandung.

Hidupkan Rasa Memiliki

Taman Cikapayang sendiri memang kerap dimanfaatkan sebagai ajang anak muda Bandung melakukan kegiatan kreatif. Mendy (20) misalnya, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati ini kerap bermain trik sepeda mountain bike atau MTB. Mendy biasa beradu trik MTB bersama teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Urban Street.

Mendy mengaku, ruang-ruang publik seperti Taman Cikapayang perlu ditambah. “Daripada dibangun gedung terus, mending dibikin taman,” ujarnya. Ia juga menilai, pembangunan Dago icon park sebagai langkah positif karena bisa membuat taman ini menjadi ramai. “kita maen juga jadi ada yang nonton kan,” katanya sembari mengumbar senyum.

Andri juga sependapat dengan Mendy, sebagai penggila skateboard, ia merasa Cikapayang sudah penuh sesak karena banyaknya komunitas yang melakukan kegiatan di sana. “lebih enak kalo ada taman khusus skateboard atau BMX,” tuturnya. Cikapayang memang menjadi wahana kreatifitas anak muda Bandung bagi berbagai komunitas yang ada di Kota Kembang ini. Misalnya, komunitas Sepeda Bike to Work dan komunitas Food Not Bombs yang membagi-bagikan makanan secara gratis di Taman ini tiap Minggu sore.

Selain Taman Cikapayang, masih ada ruang-ruang public lainnya seperti Taman Lansia, Tegallega, Taman Maluku,

Budayawan, Hawe Setiawan menilai, selain membangun ruang publik secara fisik, pemerintah dan elemen masyarakat juga perlu menghidupkan kembali rasa memiliki terhadap ruang publik. Ia mencontohkan kasus sengketa lahan Gasibu. “Jangan pemprov aja yang merasa berkepentingan, tapi juga warga yang memang butuh ruang publik,” ujarnya di akhir acara diskusi bedah buku Jeihan berjudul “Bukuku, Kubuku” di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10).

Hawe beralasan, ada gejala ruang publik semakin sempit dan dikomodifikasi sehingga ruang publik yang tersedia didominasi mall dan pusat perbelanjaan. Dalam konteks pemikiran filsuf Perancis, Roland Barthes, saat zaman terus bergulir, ruang public berubah menjadi area ekonomi yang cenderung menihilkan estetika.

Senada dengan Hawe, Emil juga berpendapat, lebih baik mengunjungi taman kota jika hanya nongkrong ataupun berkreativitas. Terlebih, Taman Cikapayang, bakal dibangun juga jaringan internet nirkabel atau hotspot.