Dampak Televisi dan Cara Mengatasinya

Media massa cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol pada tahun ini (Tempo, 10/10).

Kriminalitas yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah melainkan masyarakat atas. Apakah fenomena tersebut murni akibat tayangan dari televisi? Lalu, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Bagaimana cara mengatasi dampak tersebut? Pihak-pihak yang berada di bidang pertelevisian merupakan salah satu faktor dari dampak ke masyarakat. Setiap ada masalah, tidak mungkin hanya terdiri dari satu faktor.

Dampak televisi ini dapat ditinjau dari segi sosiologis dan antroplogis. Dampak ini juga selalu menjadi wacana di surat kabar. Masalah ini memicu gejolak di hati para pemirsa.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Dimas Dito mewawancarai Rimbo Gunawan, Pakar antropologi dan sosiologi. Wartawan melakukan wawancara dengan Rimbo Gunawan di ruang dosen gedung C, Fisip Unpad Jatinangor, Senin (17/11) siang. Dosen yang dikenal nyentrik karena rambut gondrongnya ini lahir di Sukabumi pada tanggal 13 Mei 1967. Dosen yang sedang mengejar S3 di Universitas Ateneo de Manila ini merupakan dosen tetap ilmu pemerintahan Unpad. Keseharian beliau selain menjadi dosen adalah mengurus websitenya dan kelompok motornya yang berada di Bandung. Saat ini, beliau juga sedang melakukan penelitian tentang politik konservasi.

Berikut petikan wawancaranya :

Menurut anda, bagaimana pengaruh televisi terhadap masyarakat?

Pengaruhnya secara sosiologis sangat besar kepada khalayak karena media biasanya menjadi rujukan. Hal ini menjadi studi kontemporer yang sangat besar. Hal ini terkait dengan power of media yang cukup kuat. Ada banyak jurnal dan ada banyak studi yang terkait dengan peran media di dalam masyarakat, baik itu sebagai sarana untuk sosialisasi atau internalisasi terhadap suatu nilai tertentu. Jika media itu banyak berisi tentang hal yang tak mendidik, pasti akan berdampak buruk bagi masyarakat. Mendidik atau tidak mendidik itu adalah problemnya. Bisa jadi orang dari berbagai sudut melihat apakah suatu tayangan mendidik atau tidak mendidik. Hal tersebut tergantung kepada kedewasaan orang tersebut. Masalahnya adalah masyarakat kita tidak sama dalam melihat hal tersebut.

Mengapa pengaruh dari televise lebih mudah ditiru?

Karena sebagian orang menganggap televisi itu adalah cerminan masyarakat. Harapan orang terhadap televisi juga merupakan harapan masyarakat. Harus ada penguatan dari masyarakat itu sendiri untuk menyaring tayangan tersebut.

Ada kesan bahwa televisi itu cenderung memengaruhi masyarakat?

Televisi mempunyai kapasitas untuk memengaruhi masyarakat, bukan cenderung. Itu semua tergantung kepada manusianya itu sendiri. Di budaya Amerika seeing is believing. Ini adalah kultur di Amerika bahwa melihat itu lantas percaya. Di budaya Arab, listening is believing. Jika di Indonesia sendiri, melihat cenderung sebagai sesuatu yang dipercaya. Padahal itu bisa saja menipu.

Mengapa hanya orang-orang dari kalangan menengah ke bawah yang mudah terpengaruh oleh tayangan televisi?

Ini disebabkan karena tingkat kematangan mereka di level rendah. Setiap hari, mereka dicekoki oleh tayangan televisi yang menggambarkan pola hidup yang serba gampang. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang itu. Untuk itu, mereka mendapatkan kesempatan yang mudah dengan cara yang shortcut juga. Dengan cara-cara yang ilegal. Tetapi tidak hanya orang miskin saja yang mendapatkan kesempatan itu, orang kaya juga memiliki kesempatan. Yang membedakannya adalah kualitas atau modus pada strata sosial ini.

Contohnya bagaimana yang dimaksud dengan cara-cara yang ilegal?

Biasanya, orang miskin mengekspresikan secara kasar seperti mencuri, merampok, dan membegal. Beda lagi dengan orang kaya. Orang kaya melakukan kegiatan yang ilegal secara intelek dan halus seperti korupsi dan money laundring atau macam-macam. Yang jelas, mereka mempunyai kesempatan untuk itu.

menurut Ketua KPI, Bimo Nugroho, ada hubungan erat kekerasan dalam tayangan televisi dan di kehidupan nyata, bagaimana komentar anda tentang pernyataan tersebut?

Itu memang benar seperti yang saya katakan tadi bahwa apa yang dilihat itulah kenyataan. KPI memang tidak punya gigi, mereka mempunyai kewenangan untuk mengatakan baik dan tidak baik. Tetapi, aplikasi atau operasional dari sangsi itu tidak cukup kuat untuk menahan dan menegakkan apa yang menjadi kontrol masyarakat.

Menurut Pimpinan Redaksi TV One pada sebuah debat mengenai dampak buruk media di acara Barometer yang disiarkan di SCTV, berita tentang kekerasan atau narkoba jika tidak disiarkan juga akan menjadi masalah di dalam masyarakat, bagaimana tanggapan anda terhadap komentar tersebut?

Televisi bisa direspon beragam. Bisa jadi itu menginspirasi atau ini juga menjadi bahan pembelajaraan orang supaya tidak tertipu. Ini adalah positif dan negatifnya. Semua ini tergantung kepada pemirsa. Sayangnya, televisi sekarang tidak mencantumkan bahwa siaran ini harus ada bimbingan. Tanggung jawab tetap saja kepada pemirsa.

Apakah KPI sudah mengetahui dampak tersebut?

Saya kira mereka sudah mengetahui. Tetapi, mereka hanya mengeluarkan statement normatif. Mereka hanya memberi statement tetapi tidak mereka tidak mempunyai perangkat untuk mengontrol tayangan televisi. Misalnya tayangan televisi itu merusak dan mengganggu. Mereka hanya ngomong itu. Sekarang saja ada keinginan untuk menunda siaran tertentu, tetapi apakah itu efektif. Sebenarnya yang bekerja itu mekanisme uang artinya, tayangan itu ratingnya tinggi karena banyak orang suka. Tetapi kontennya tidak mendidik.

Jadi, hanya televisi saja yang harus mengontrol tayangan mereka?

Sebenarnya bukan televisi saja. Masyarakatnya juga harus mengontrol dengan cara menyaring apa yang ia tonton. Masyarakat harus mempunyai filter yang kuat dalam hal ini. Masyarakat harus dididik. Jika masyarakat melakukan boikot terhadap televisi, pasti yang mengalami kerugian adalah televisi itu sendiri. Sayang di Indonesia belum cukup kuat untuk mengontrol televisi. Di luar negeri, saya pernah melihat, masyarakat atau konsumen itu dapat menentukan bahwa televisi ini layak atau tidak. Mereka membuat statement tentang itu.

Lalu, bagaimana dengan pengaruh buruk terhadap anak-anak yang belum mempunyai filter dalam diri mereka?

Anak-anak harus diawasi oleh orang tua. Efektifnya, harus ada kontrol dari keluarga. Di Jepang, anak-anak hanya mempunyai waktu yang terbatas dalam menonton TV. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk belajar. Di Indonesia, anak-anak sepertinya kurang mendapatkan pengawasan karena orang tua mereka yang aktif bekerja. Tayangan yang bisa dibilang memengaruhi anak-anak sebaiknya ditayangkan di atas waktu prime time. Seperti jam sepuluh ke atas setelah anak-anak tidur.

Dalam kasus ini apakah murni hanya pihak televisi yang bertanggung jawab?

Kesalahan saya kira dari produsen. Intinya adalah yang harus bertanggung jawab adalah mereka yang mengijinkan siaran itu tayang. Masyarakat juga harus mempunyai control yang kuat.

Apakah pemerintah tidak ikut bertanggung jawab?

Apa lagi yang bisa diminta dari pemerintah. Sejak dulu, pemerintah sudah pernah membentuk badan sensor dan lembaga lainnya tetapi tetap tidak efektif. Semuanya kembali kepada kesadaran kolektif masyarakat itu sendiri. Mereka harus mengordinasikan sendiri apa yang baik untuk dirinya.

Disini, apakah televisi sekarang hanya mencari unsur kehebohan atau sensasi?

Itu memang betul. Sekarang televisi hanya condong kepada tayangan yang sifatnya glamour, mahal, hal-hal yang kaya materi, dan pergaulan bebas. Masih mengejar kepada sifat ekonominya.

Mengapa hal itu bisa terjadi di pertelevisian?

Saat ini, semua lebih karena ingin mendapatkan uang yang banyak. Untuk mendapatkan rating. Semua ini hanya persoalan bisnis semata.

Apakah ada media televisi yang benar-benar netral?

Saya kira tidak ada media yang netral. Semua pasti dimiliki oleh para pemilik modal. Media televisi di indonesia menganut sistem liberal. Sangat terbuka. Lihat saja di sebuah stasiun televisi yang dimiliki oleh Bakrie, televisi itu tidak akan memberitakan masalah lumpur Lapindo. Jika diberitakan, tidak akan bersifat provokasi. Ini semua demi kepentingan sang pemilik modal. Ada juga di stasiun televisi lain, acara Golkar bersama Surya Paloh yang ditayangkan berjam-jam. Padahal hal tersebut tidak berguna sama sekali.

Berkaitan dengan pengesahan RUU Pornografi, apakah kualitas televisi akan menjadi baik?

Saya kira akan berubah menjadi baik, tetapi kita lihat saja nanti. Sebenarnya saya tidak setuju dengan pengesahan tersebut karena dilihat dari kultur budaya akan memasung keberagaman. Masalahnya tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu pornografi. Moralitas saya kira tidak bisa dijadikan undang-undang.

Harapan anda tentang siaran televisi yang baik bagi masyarakat ?

Kalau saya harapannya bukan ke televisinya, tetapi lebih kepada masyarakatnya. Masyarakat harus bisa memilih. Televisi juga harus memiliki self control yang lebih baik lagi. Tetapi yang penting bagaimana mendidik masyarakat agar mereka paham bahwa televisi itu bukan segalanya. Apa yang ditampilkan di televisi itu bukan representasi kejadian yang mutlak. Televisi juga harus mengikuti aturan pemerintah atau aturan penyiaran segala macem. Masyarakat harus diperkuat lagi bahwa televisi bukan segalanya.

Media Baru Potensial Tegakkan Demokrasi yang Bebas Korupsi

Bandung, (INSEPSI).–

Ruang publik belum seluruhnya dikuasai oleh kuasa negara dan kuasa modal, akan tetapi juga menunjukkan semakin pentingnya peranan media baru seperti internet, telepon seluler, dan jejaring sosial. Media baru ini telah mampu menggandakan informasi dan diskursus publik.
       Itulah kutipan orasi ilmiah yang disampaikan Rizal Malik, M.A dalam acara puncak perayaan Dies Natalis ke-50 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran di Gedung Graha Sanusi Kampus Unpad Dipatiukur, Selasa (12/10). Selain civitas akademika dari Unpad dan universitas lain, turut hadir dalam acara tersebut beberapa perwakilan media.
       “Siapa yang bisa menguasai internet? Gak ada yang bisa menguasai internet,” ungkap mantan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) ini saat diwawancara usai menyampaikan orasinya. “Itu punya potensi demokratisasi yang sangat besar,” sebutnya.
       Rizal melanjutkan bahwa aksi nyata di kehidupan nyata adalah segalanya. “Kita tidak tahu apakah potensi itu bisa dilakukan untuk perubahan atau tidak. Bila tidak diriilkan dalam satu gerakan masyarakat yang terorganisasi, ia tidak akan bermakna apa-apa,” lanjutnya
       Dalam orasi ilmiahnya, pria Minang yang sedari mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi ini menyebut bentuk konkret dari media sebagai pilar keempat demokrasi ini. “Keberhasilan mobilisasi dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam episode Cicak vgersus Buaya tahun lalu, ataupun mobilisasi dukungan kepada Pritha Mulyasari, merupakan dua kasus yang menunjukkan bahwa media dapat memainkan peranannya yang transformatif,” terangnya.
       Orasi ilmiah yang berjudul “Menuju Pendidikan Komunikasi yang Demokratis” tersebut menyoroti tiga hal besar, yaitu demokrasi, korupsi, dan media. Tokoh yang posisinya di TII digantikan Teten Masduki ini dalam orasinya menyebut bahwa Indonesia negara bebas di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, masih tergolong sebagai salah satu negara korup.
       “Inilah paradoks demokrasi di Indonesia. Kita bangga menjadi salah satu negara paling demokratis di dunia, akan tetapi demokrasi di Indonesia belum juga menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya, bahkan semakin membiakkan korupsi,” ungkap lulusan Fikom Unpad tahun 1981 ini dalam paparan orasinya.
       Terkait media yang secara teori merupakan fasilitator diskursus dan perdebatan rasional dalam ruang publik, Rizal mengatakan dalam wawancara bahwa kini media tak lepas dari berbagai kepentingan. “Kepentingan politik dan kepentingan modal itu bisa masuk ke media,” lanjutnya.
       Sebuah pengharapan dari mahasiswa angkatan 1974 ini kepada almamaternya, diutarakan di akhir orasi. Ia berharap, “Fakultas Ilmu Komunikasi memainkan peranan penting dalam pengembangan ruang publik yang baru, dan ikut aktif dalam membangun Indonesia yang demokratis, yaitu satu negeri yang memberikan akses kepada lebih banyak lagi warganya berpartisipasi dalam proses-proses politik, sehingga demokrasi dijamin keberlanjutannya di negeri ini.”  
       Rizal Malik merupakan salah satu lulusan Fikom Unpad—fakultas berpredikat sebagai satu-satunya fakultas ilmu komunikasi di perguruan tinggi negeri—yang turut memberikan sumbangsih untuk kemajuan negeri.
       Tema dari Dies Natalis Fikom Unpad ke-50 ini yaitu “Dedikasi bagi Negeri”. Menginjak usianya yang dewasa, fakultas yang dipimpin Prof.Deddy Mulyana ini memiliki impian agar para civitas akademika dan lulusan Fikom Unpad dapat berkontribusi dan berdedikasi untuk negeri.
       Dalam sambutannya, Prof.Deddy Mulyana mengatakan, “Ada impian bahwa pada suatu saat kelak, sebagian besar dosen dari Fikom Unpad ini akan menjadi para doktor dan profesor yang disegani, punya wawasan keilmuan yang luas, megnhasilkan karya-karya ilmiah berkualitas, dan berkiprah di masyarakat tanpa meninggalkan tugas utama mereka di fakultas.”
        Fikom Unpad kini memang sudah bertransformasi, tak hanya dengan infrastrukturnya yang yang lebih lengkap tetapi juga dari segi kualitas pengajarannya dan pelayanannya kepada mahasiswa. Melihat perkembangan dunia komunikasi yang semakin pesat, kebutuhan akan para sarjana komunikasi yang berkompetensi menjadi meningkat. Hal itu pula yang menyebabkan Fikom Unpad begitu diminati oleh para calon mahasiswa. Pada awal berdirinya fakultas ini hanya memiliki 150 mahasiswa, dan kini jumlah mahasiswanya dapat mencapai sepuluh kali lipatnya. (AG)