1001 Problematika DAS Citarum

(Yudhi Mahatma / Reuters)

Laporan oleh : Rivki Maulana

Penulis : G.A Gurino



Aliran Sungai Citarum sepanjang 299 kilometer, yang membentang dari kawasan pegunungan di selatan Kabupaten Bandung hingga bermuara di Laut Jawa, wilayah bagian utara Kabupaten Karawang, merupakan urat nadi perekomian yang penting bukan hanya untuk kawasan Jawa Barat, melainkan juga nasional.

Kapasitas airnya menjadi sumber pasokan penting bagi tiga waduk pembangkit listrik tenaga air (PLTA): PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Jatiluhur. Air yang tergenang di tiga waduk itu pun menjadi wahana bagi peternak ikan keramba jaring apung. Yang tak kalah penting, Sungai Citarum juga berfungsi sebagai pemasok air baku (termasuk 80% sumber air bagi DKI Jakarta), irigasi pertanian, pariwisata, dan pengendalian banjir.

Belakangan, kondisi daerah aliran Sungai (DAS) Citarum mengalami penurunan kualitas, sehingga daya dukung pada fungsi-fungsi itu pun turut anjlok. Apa saja yang membuat penurunan kualitas ini? Rivki Maulana dari Gatra mencaritahu akar permasalahannya dengan menelusuri sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat itu. Berikut hasil penelusurannya.

Embusan angin mengusir kepulan asap dari ujung rokok kretek Sundaya. Petani budi daya ikan tawar di Waduk Cirata ini tak kuasa menyembunyikan rasa galau. "Terus terang saja, kali ini saya rugi Rp 100 juta," kata pria 39 tahun itu. Pria berkumis itu punya 10 unit keramba jaring apung (KJA) di daerah Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat. Satu unit KJA terdiri dari empat petak "kolam" berukuran 7 x 7 meter. Pada musim panen belakangan, menurut Sundaya, produktivitas ikan di KJA-nya turun hingga separuhnya.

Seiring dengan penurunan produktivitas ikan itu, Sundaya juga mengeluhkan penurunan daya serap ikan terhadap pakan yang ditebar. Dari satu porsi pakan yang ditebar, hanya separuhnya yang dilahap ikan. Sisanya mengendap di dasar waduk. Sisa makanan yang tersedementasi ini lama-kelamaan menjadi polutan, sehingga mengurangi kualitas air baku Sungai Citarum. Bak lingkaran setan, penurunan kualitas air itu ujung-ujungnya membuat produksi ikan menukik tajam. Tentu konsumsi terhadap pakan pun ikut melorot.

Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) merasakan betul penurunan konsumsi pakan ternak ikan itu. Berdasarkan data GPMT, menurut Denny D. Indradjajam, Ketua Pakan Akuakultur GPMT, hingga tahun 1997 konsumsi pakan ikan di Waduk Saguling masih mencapai 4.000 ton per bulan. Kemudian merosot tajam hingga tinggal 400 ton per bulan pada 2001. Daya serap pakan ikan di waduk ini mencapai titik nadir pada tahun lalu, yakni hanya 100 ton per bulan.

Fenomena serupa terjadi di Waduk Cirata, yang konsumsi pakan ikannya lebih besar. Pada periode 1999-2002, rata-rata konsumsinya 12.000 ton per bulan. Pada tahun lalu, angka itu menukik tajam, tinggal 4.000 ton per bulan. Namun, di Waduk Jatiluhur, konsumsi justru naik menjadi 4.000 ton per bulan. Padahal, sebelum tahun 2005, konsumsi pakan per bulannya cuma 1.500 ton. "Kenaikan ini terjadi karena penurunan kualitas air di Saguling dan Cirata menyebabkan pemilik KJA di dua waduk itu secara berangsur hijrah ke Jatiluhur," ujar Denny.

Memang selama ini jumlah peternak ikan KJA di Jatiluhur tidak sebanyak di Cirata. Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Eddy Suriadiredja, memperkirakan bahwa KJA di Jatiluhur mencapai 20.000 petak. "Ini tidak sampai separuh jumlah KJA di Cirata," katanya. Sensus Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) menyebutkan, jumlah KJA di Cirata mencapai 51.418 unit.

Bahkan jumlahnya akan lebih banyak jika merujuk pada perhitungan Asosiasi Pembudi Daya Ikan dan Nelayan Danau Cirata (Aspindac), organisasi yang dipimpin Sundaya. Aspindac mencatat angka 57.000 unit KJA. "Dari perhitungan kasar, sejak 2007 ada penambahan 1.500 petak per tahun," tutur Sundaya.

Bagi Sundaya dan ribuan rekannya di Aspindac, jumlah KJA sebanyak itu jelas meresahkan. "Jumlah KJA sudah melampaui daya dukung waduk terhadap ekosistem perikanan," katanya. Maklum saja, berdasarkan data yang dirilis BPWC, idealnya jumlah maksimum KJA di waduk itu hanya 12.000 petak. Angka ini pun muncul tanpa dasar riset ilmiah.

Fenomena KJA pertama kali muncul pada 1988 sebagai kompensasi bagi warga sebanyak 1.500 kepala keluarga yang lahannya tergenang untuk pembangunan waduk. Awalnya tidak ada aturan perihal jumlah KJA yang diperbolehkan beroperasi. Pembatasan 12.000 petak KJA baru muncul pada 2002 melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 41/2002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk. "Setelah belasan tahun, baru ada aturan. Jadi, sudah telanjur untuk membatasi," kata Suhata E. Putra, Kepala BPWC.

Bisnis KJA memang menggiurkan. Aspindac menaksir, setiap KJA butuh investasi Rp 50 juta. Bayangkan jika dikalikan dengan 57.000 KJA, berarti ada modal Rp 2,85 trilyun yang tertanam di bisnis ini. "Belum lagi duit yang berputar dari multiplier-effect dari bisnis ini," kaya Sundaya. Daya tarik inilah yang membuat orang berduit dari luar kawasan waduk, seperti dari Jakarta dan Bandung, ramai-ramai menanamkan duit di bisnis ini.

Dengan sokongan duit besar, pebisnis dari luar kawasan waduk itu membangun KJA dalam jumlah besar. Hal ini membuat jumlah petaninya justru menyusut, walau jumlah KJA terus menggelembung. Hasil sensus 2007 memperlihatkan, jumlah petani KJA sebanyak 2.838 orang atau menurun jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 3.400-an orang. Studi BPWC menunjukkan, banyak petani kecil yang menjual keramba mereka kepada petani bermodal besar. Tak mengherankan jika di Cirata, sejumlah petani rata-rata memiliki 400 hingga 600 petak keramba.

Semakin sesaknya KJA di Cirata itulah yang membuat kualitas air sungai jadi menurun. Sebab, menurut Denny, penyebab utama penurunan kualitas ini sebenarnya bukan oleh sedimentasi pakan ikan yang tidak dikonsumsi, seperti dikeluhkan Sundaya. Melainkan lebih disebabkan sedimentasi hasil metabolisme ikan yang jumlahnya berlebihan.

Kualitas air diperburuk oleh polutan dari limbah domestik dan kegiatan manusia di atas KJA. Banyak peternak ikan dan pegawainya yang sehari-hari beraktivitas di atas KJA, termasuk mandi, mencuci, dan membuang hajat di waduk. "Setiap bulan, tinja yang dibuang ke danau mencapai 11 ton," ujar Sundaya.

Ancaman Styrofoam dan Herpes
Selain jumlahnya yang melebihi kapasitas, secara fisik bahan pelampung KJA pun memicu masalah signifikan. Menurut Suhata, hampir 60% KJA memakai styrofoam sebagai pelampung jala. Pada 2007, persentase KJA ber-styrofoam masih 43,94%. Sisanya memanfaatkan drum besi. Jika dua jenis pelampung ini hancur, tak banyak pemilik KJA yang mengangkatnya ke darat.

Hal itu makin mengotori waduk. Apalagi, masih ada saja peternak ikan yang memakai styrofoam bekas sebagai pelampung jala. Styrofoam menjadi problem pelik karena sifatnya yang sulit terurai. Karena itu, BPWC berusaha mengolah sampah styrofoam menjadi briket bahan bangunan.

Selain itu, serangan virus herpes juga mengancam para petani ikan. Kepadatan KJA membuat penyebaran virus ini semakin cepat. "Kami kerap merugi jika virus herpes menyerang," kata Sundaya.

Para petani juga kerap merugi jika terjadi arus balik (upwelling). Bencana ini kerap terjadi pada awal musim hujan, ketika arus di bawah permukaan menjadi deras. Akibatnya, sedimen dan beragam polutan yang bersemayam di dasar terangkat. Kadar oksigen terlarut (DO) pun menjadi rendah. Akibatnya, banyak ikan yang mati. Menurut catatan BPWC, pada Januari 2009 terjadi kematian massal ikan hingga mencapai 500.000 ton.

Kematian massal ikan itu disebabkan tingginya kadar polutan. Yaya Hudaya, staf ahli ekologi dan lingkungan BPWC, mengungkapkan bahwa dari hasil uji kualitas air pada triwulan keempat 2010, terjadi peningkatan kadar polutan, terutama untuk parameter penting, seperti oksigen terlarut (DO), COD, BOD, dan coliform (pemeriksaan bakteriologis air bersih dari jenis coliform).

COD (chemical oxygen demand) artinya kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air. BOD (biological oxygen demand) artinya kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di air oleh mikroorganisme. Parameter DO berbanding terbalik dengan BOD dan COD. Semakin besar angka DO-nya, kadar BOD dan COD-nya akan semakin kecil. Begitu juga sebaliknya.

Setidaknya ada tiga titik penting dari delapan lokasi yang menjadi prioritas pengamatan, yakni titik 4 (pusat KJA), titik 2 (intake --saluran air untuk turbin), dan titik 8 (muara Cimeta). Titik 8 mendapat atensi guna melihat pengaruh kualitas air akibat operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Titik 4 untuk mengetahui dampak keberadaan KJA terhadap kualitas air. Sedangkan titik 2 untuk menilik kualitas air terhadap korosivitas pembangkit listrik dan fisik bendungan.

Di titik 4, kata Yaya, air pada kedalaman lima meter yang dijadikan perhatian. Pasalnya, KJA berkedalaman delapan meter. Hasil pengukuran di titik 4 menunjukkan, kadar DO hanya 2,07 mg/l, jauh dari angka ideal 6 mg/l. Analoginya, dalam kamar yang sempit terdapat banyak orang, jadi sumpek. Adapun kadar BOD di titik ini adalah 6,46 mg/l (ideal 6mg/l), sedangkan COD sebesar 12,15 mg/l (idealnya 10 mg/l). BOD timbul dari limbah domestik, seperti limbah pertanian, sedangkan COD dari limbah industri.

Di titik 2, kadar BOD dan COD-nya lebih parah ketimbang di titik 4. Kadar BOD di zona intake mencapai 7,37 mg/l, sedangkan COD-nya 14,31 mg/l. Adapun kadar DO-nya berada di angka 4,57 mg/l. Hasil pengukuran di titik 2 ini patut dibandingkan dengan pengukuran di titik 8. Titik ini menjadi indikasi adanya limpahan polutan dari TPA Sarimukti ke Cirata melalui Sungai Cimeta.

Di titik 8, kadar BOD 12,88 mg/l; COD 18,40 mg/l; E. coli 240.000 sel/100 ml, dan coliform 460.000 sel/100 ml. Yaya menuturkan, parameter E. coli, coliform, dan H2S penting untuk melihat dampak kualitas air terhadap korosi PLTA. Untuk E. coli, terjadi kenaikan yang tajam karena angka baku mutunya 2.000 sel/100 ml. "Ini sama kayak ngambil air di WC," tutur Suhata.

Laju Proses "Osteoporosis" PLTA
Meski begitu, Yaya mengakui, angka itu adalah hasil terbaik sepanjang riset BPWC. Jika pada triwulan ketiga 2010 angka coliform mencapai 1,2 juta sel/100 ml, maka tak lama setelah TPA Sarimukti beroperasi pada akhir 2005, angka coliform pernah mencapai 4,2 juta sel/100 ml. Kondisi ini menyebabkan bendungan mengalami korosi di atas batas normal.

Ketika dilakukan inspeksi bendungan pada 2005-2006, indeks korosi mencapai 0,955, padahal batas normalnya adalah 0,75. Parameter korosi bendungan ini dilihat dari kadar nitrogen, sulfat, dan keasaman. "Jadi, ibarat manusia, itu osteoporosis-lah," kata Yaya.

Korosi juga menyerang infrastruktur PLTA, dari pipa drainase, turbin, hingga radiator pendingin genset. BPWC dan PJB Unit Pembangkitan Cirata bekerja ekstra guna memelihara infrastruktur itu. Untuk menahan laju korosi, Suhata mengatakan, pihaknya berusaha meningkatkan kualitas infrastruktur. "Jika dulu kualitas tiga, kini kualitas satu," ujarnya.

Status Waduk Cirata sendiri, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat Nomor 39/2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 82/2001, adalah buruk (C). Namun masih baik untuk operasional PLTA (status B). Persoalan belum tuntas. Pasalnya, SK gubernur itu tidak menyertakan parameter penting untuk pengukuran kualitas air, seperti BOD, COD, dan sulfat.

Padahal, dari hasil pengukuran terlihat jelas, kadar BOD dan COD-nya lebih tinggi dari baku mutu. "Berpijak pada SK gubernur itu, mau berapa pun (polutan) yang masuk, itu nggak masalah karena angka parameter BOD dan COD-nya nol," kata Yaya.

Parameter penting lain yang memicu korosi adalah sulfat. Tapi kandungan sulfat ternyata labil. Terkadang bisa diukur, tapi kadang-kadang malah tak terdeteksi. Ini terjadi karena sulfat di air sangat mudah menjadi gas dan lepas ke udara. Karena itu, pada triwulan keempat 2010, kadungan sulfatnya "tt" atau tidak terdeteksi. Sedangkan pada triwulan ketiga tercatat 0,025 mg/l.

Yang lebih mengenaskan, SK Gubernur Jawa Barat itu tidak mencantumkan angka baku mutu sulfat untuk PLTA. Regulasi yang ada baru sebatas untuk perairan, pertanian, dan perikanan yang mengalir, bukan yang tergenang seperti waduk.

Dari uji kadar polutan tadi, BPWC menyimpulkan, baik untuk KJA maupun fungsi PLTA, kualitas air Cirata sudah tidak menyehatkan. Status ini ditambah dengan laju sedimentasi yang melewati batas angka desain Waduk Cirata pada saat dibuat tahun 1987.

Pada 2007, rerata laju sedimentasinya 7,28 juta meter kubik, melebihi desain awal bendungan sebesar 5,67 meter kubik. Yaya mencontohkan, di titik bendungan, kriteria desain elevasinya 115 mdpl, tapi hasil pengukuran mencapai 122-123 mdpl. "Jadi bertambah tebal 7 meter dari desain awal," tuturnya.

Melihat baku mutu air di Waduk Cirata itu, baik Aspindac maupun BPWC punya kesimpulan sama. KJA harus dibatasi. Untuk mengendalikan populasinya, BPWC pun melakukan zonasi. "Ini untuk menertibkan tata ruang KJA," kata Suhata.

Wilayahnya dibagi menjadi tiga zona berdasarkan wilayah administratif, yakni Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur. Setiap pemilik harus menjaga bloknya agar tidak dimasuki KJA baru. Selain itu, atap KJA harus diberi warna. "Biar bisa kami pantau supaya nggak pindah," ujar Suhata.

Bagian penting lainnya adalah perizinan. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, Ahmad Hadadi, menjelaskan bahwa ada dokumen perizinan yang harus dipegang pemilik KJA. Antara lain surat penempatan lokasi dari BPWC dan IUP sesuai dengan Perda Nomor 14/2002 serta rekomendasi dari Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta. "Mulai April 2011, Dinas Perikanan Jawa Barat setiap dua pekan melakukan jemput bola dengan mengirim unit mobil pelayanan," katanya.

Izin KJA nantinya lebih diprioritaskan bagi warga lokal. Targetnya, pada 2013 operasi penertiban mulai dilakukan. "Yang tidak punya izin nanti kami gusur," kata Ahmad Hadadi. Pembatasan itu penting demi kelangsungan ekosistem waduk. Ia meminta pemilik KJA punya komitmen yang tinggi terhadap lingkungan.

Pihak BPWC, bersama Aspindac, juga telah menyosialisasikan larangan styrofoam. KJA yang rusak dan tidak difungsikan akan ditarik. Menurut Suhata, sebanyak 30% KJA di Cirata tidak digunakan dan pemiliknya enggan menarik KJA itu ke darat. "Ongkosnya lumayan mahal," tuturnya.

Di pihak lain, Sundaya menjabarkan, Aspindac berikhtiar menjaring pemilik KJA agar persoalan kualitas air di Cirata bisa ditangani secara tanggung renteng. Sayang, kini anggota Aspindac hanya 1.000 petani, jauh dari total jumlah petani di Cirata yang mencapai 20.000 orang. Jika hanya anggota Aspindac yang aktif dalam persoalan kualitas air ini, tentu akan sia-sia.

Untuk mengurangi polutan, BPWC melakukan restocking ikan pemakan plankton, seperti bandeng, tawes, dan mola. Sejak 2010, bibit yang ditebar mencapai 5 juta dari target 10 juta ekor. Selain itu, ada rencana menanam 10.000 pohon aren di lahan hijau sekitar waduk. Jadi, waktu jualah yang akan menguji ikhtiar-ikhtiar itu.

Defisit Air Mengancam Pertanian
Langit mendung di atas Bendungan Jatiluhur, akhir Maret lalu, diharapkan segera menurunkan hujan. Sore itu, bau tak sedap menyeruak dari morning glory waduk seluas 8.300 hektare tersebut. Morning glory adalah sebutan untuk saluran pembuangan air waduk. Bentuknya bak mangkuk raksasa, dengan tinggi 100 meter dan diameter 120 meter.

Sejauh mata memandang ke arah morning glory, terlihat jelas air sangat surut. Tingggi muka air hanya 95,29 meter, terpaut jauh di bawah angka normal 107 meter. "Aneh, tahun lalu pada saat yang sama malah hampir luber, kini kering banget," kata seorang satpam. Keganjilan itu juga dirasakan jajaran elite Perum Jasa Tirta II dan birokrat daerah hingga pusat.

Data Jasa Tirta II menunjukkan, jumlah air yang tersedia di bendungan itu hanya 2,98 milyar meter kubik. Sedangkan kebutuhan air mencapai 3,63 milyar meter kubik. Jadi, defisit air mencapai 0,65 milyar meter kubik.

Kondisi ini membuat lahan pertanian di sebagian pantai utara Jawa Barat terancam kekeringan. Angka pastinya belum ada. Perum Jasa Tirta II memperkirakan, sebanyak 240.000 hektare lahan berpotensi mengalami kekeringan di dua gadu (musim kering) mendatang. Total lahan yang mendapat pasokan air dari Jatiluhur seluas 300.000 hektare.

Menurut Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Eddy Suriadiredja, kebutuhan air untuk irigasi mencapai 2,68 milyar meter kubik. Ketersediaan air untuk irigasi menjadi prioritas utama kerana Bendungan Jatulihur dibangun untuk keperluan irigasi. "Kalau listrik perlu dikurangi, ya, kami kurangi, yang penting irigasi terpenuhi," kata Eddy.

Pasokan air untuk PLTA, menurut Eddy, tidak besar karena kapasitas pembangkit listriknya hanya 180 MW. Paling kecil dibandingkan dengan Cirata dan Saguling. "Unit pembangkitan Cirata memiliki kapasitas maksimal 1.008 MW, sedangkan Saguling 700 MW," katanya.

Antisipasi Menghadapi Kekeringan
Untuk menambah debit air, pihak Jasa Tirta II menempuh beberapa langkah, antara lain teknik modifikasi cuaca. Ini dilakukan bersama PLN dan BPPT sejak 14 Februari hingga 16 Maret 2011. Hasilnya, ada kenaikan tinggi muka air, meski masih di bawah ekspektasi.

Menurut Eddy, hal itu terjadi karena air tertahan di Saguling dan Cirata untuk keperluan operasional pembangkit listrik pada saat beban puncak. "Pada malam hari mereka bisa tahan. Nah, untuk irigasi mau tahan gimana, orang di bawah sudah teriak-teriak," tutur Eddy.

Untuk mengantisipasi kekeringan akibat defisit air itu, Dinas Pertanian Jawa Barat pun menyusun strategi untuk lima wilayah sentra beras, yakni Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi. "Ini dilakukan untuk menjaga target pertumbuhan produksi 7% pada tahun ini," kata Kepala Dinas Pertanian Jawa Barat, Endang Suhendar.

Menurut Endang, rencana itu meliputi pemetaan daerah rawan kekeringan di tiap-tiap wilayah.Untuk daerah yang aman dari kekeringan akan diterapkan pola penghematan air. "Sedangkan daerah yang rawan kekeringan akan diminta mengubah pola tanamnya, antara lain dengan palawija," katanya.

Dinas Pertanian di setiap wilayah juga akan mempercepat masa tanam dengan tanam benih langsung atau tabela. Dengan tabela, benih bisa tumbuh dalam 15 hari. Sedangkan cara konvensional membutuhkan waktu 30 hari. Selain itu, benih SRI (system of rice intensification) akan digunakan karena varietas ini tidak membutuhkan banyak air.

Data Dinas Pertanian menunjukkan, hingga Februari 2011, pencapaian target luas tanam dan panen cukup menjanjikan. Dari target luas tanam padi sawah 1.062.351 hektare, yang terealisasi mencapai 942.792 hektare atau 88% dari target. Meski dibayangi ancaman kekeringan, Endang optimistis bahwa produksi beras tidak akan terganggu.

Perihal produktivitas, Endang mengakui, pada tahun lalu kenaikannya tidak sebesar periode 2008-2009. Pada keriode kemarin hanya tumbuh 3,66%. Untuk tahun ini, target peningkatan produksi hingga 12,5 juta ton cukup realistis. "Tapi ini berat karena sangat tergantung air, benih unggul, dan pupuk," ungkapnya.

Kawasan Hulu Citarum Kritis
Sejuk khas udara pegunungan menyelimuti Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Pantulan air di Situ Cisanti pada ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut membentuk bayangan gunung yang ada di sekelilingnya.

Dari Situ Cisanti-lah Sungai Citarum mengalir jauh hingga ke Tanjung Pakis dan Muara Gombong, 269 kilometer dari Gunung Wayang. Kawasan hulu inilah yang dituding menjadi biang permasalahan Citarum yang kompleks.

Pakar hidrologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Chay Asdak, menyatakan bahwa lahan kritis di daerah hulu itu menyebabkan daerah tangkapan air rusak berat. Ia menilai, beberapa program rehabilitasi yang selama ini dilakukan tidak efektif.

Menurut Chay, pohon hanya akan memberikan efek positif secara hidrologis jika membentuk asosiasi tegakan. "Kalau renggang, ya, nggak ada efeknya buat pencegaran air," ujarnya.

Perkara lahan kritis itu tak lepas dari alih fungsi lahan di kawasan hulu Citarum, yakni di Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Daerah ini sebetulnya kawasan konservasi yang, menurut Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, harus diisi dengan tanaman keras. Namun, faktanya, lahan yang ada malah dipakai untuk perkebunan sayuran.

Chay mengusulkan, persoalan lahan kritis itu didekati lewat integrasi ekonomi. Ia mencontohkan, hutan rakyat di daerah Purwokerto, Jawa Tengah, bisa lestari karena ada faktor pengikat, sehingga warga tertarik untuk menghijaukan lahannya. Pemerintah, lanjut Chay, seharusnya mendorong penciptaan pasar agar muncul faktor integrasi ekonomi tadi. "Ini saya lihat belum ada di Jawa Barat," katanya.

Dilema Nilai Ekonomi Kentang
Sebetulnya program yang mengarah pada pemberdayaan ekonomi masyarakat bukannya tidak ada. Sejak 2005, Perhutani menggulirkan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini melibatkan 9 lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dengan luas area 2.600 hektare.

Amas Wijaya, Kepala Seksi Humas Perhutani Unit III Jawa Barat, mengatakan bahwa program itu belum optimal karena terbentur beberapa kendala. Pengolahan kopi adalah salah satunya. Selama ini, kopi dijual dalam bentuk biji. Harganya hanya Rp 1.500 per kg. "Kalau sudah jadi bubuk, bisa Rp 50.000," ungkapnya. Produksinya pun tidak maksimal karena ditanam di zona naungan pohon pinus. Satu hektare lahan hanya bisa ditanami 300-400 pohon kopi, dengan hasil panen sekitar 6 ton per tahun.

Selain itu, Perhutani juga mencoba menawarkan Program Rehabilitiasi Usaha Pengembangan Hutan Rakyat (RUPHR). Dengan program ini, masyarakat pemilik lahan ditawari menamam pohon seperti albasia. Pohon ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Harga per meter kubiknya mencapai Rp 400.000. "Tapi memang perlu waktu tujuh tahun, baru hasilnya bisa dituai," kata Amas.

Alhasil, warga enggan beralih ke tanaman apa pun karena sayuran, terutama kentang, memiliki nilai ekonomi tinggi dan waktu panennya relatif singkat. "Belum ada penelitian empiris yang membuktikan ada tanaman lain yang bisa menggantikan nilai ekonomi kentang," ujar Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat, Budi Susatyo.

Lahan kentang, lanjut Budi, merupakan persoalan pelik karena juga melibatkan faktor kultur. Ini sulit diatasi karena lahan yang mereka garap adalah hak milik perorangan dan digarap secara turun-temurun sejak 35 tahun lalu. "Tak ayal, gerakan rehabilitasi lahan jalan di tempat," kata Budi.

Berebut Lahan Ekonomi Citarum Hulu
Luas DAS Citarum hulu sekitar 230.802 hektare. Terdiri dari kawasan hutan seluas 60.835 hektare dan luar kawasan hutan seluas 166.611 hektare. Budi mengungkapkan, 10% dari luas DAS Citarum hulu berada dalam kondisi kritis. "Ini angka minimal karena kami tidak berani bilang bahwa tanah perkebunan itu kritis," katanya.

Komposisi penguasaan lahan di daerah hulu memang beragam. Di sini, para tuan tanahnya adalah Perhutani, Balai Besar Konservasi SDA, PT Perkebunan Nusantara XIII, dan perkebunan swasta seperti PT London Sumatra. Di satu kecamatan, yakni Kertasari, luas lahan yang dikelola masyarakat sangat kecil, yakni kurang dari 1.000 hektare, yang merupakan tanah ulayat atau tanah adat.

Luas lahan yang hanya 1,000 hektare ini diperebutkan 65.000 jiwa penduduk di kecamatan itu. Adapun lahan seluas 13.000 hektare dikuasai dan dikelola beberapa perusahaan negara, seperti Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara VIII, yang terdiri dari Perkebunan Teh Talun Santosa, Kertamanah, Purbasai dan Sedep, serta Perkebunan Kina Bukit Tunggul. Sedangkan 600 hektare dikuasai perkebunan teh swasta, PT London Sumatra Kertasari Estate.

Penataan ruang yang tidak jelas juga memperburuk kondisi Citarum. Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat mencatat, daerah yang dulu berfungsi sebagai resapan kini sarat dengan bangunan permanen. BPLHD mencatat, alih fungsi lahan dari tahun 1983 sampai 2002 naik 233% untuk daerah permukiman, industri naik 868%, sedangkan lahan pertanian turun 55%.

Kondisi Citarum diperparah pula oleh erosi dan sedimentasi yang muncul akibat lahan kritis. Tingkat erosi lahan di DAS Citarum hulu tergolong tinggi. Data Dinas Kehutanan Jawa Barat menunjukkan, dari luas lahan 230.802 hektare, terjadi erosi sebesar 112.346.477 ton per tahun atau 487 ton per hektare.

Erosi ini menimbulkan sedimentasi yang luar biasa. Hasil sedimentasi yang sampai di badan air Waduk Saguling mencapai 8.467.926 ton. Secara akumulasi, dari tahun 1987 hingga 2007 saja, total sedimen itu mencapai 84.644.878 meter kubik. Laju erosi melesat 30.708 meter kubik per tahun dari angka perkiraan atau hingga 2010 kelebihan 644.878 meter kubik.

Meragukan Kemampuan Pohon Keras
Dengan kondisi seperti itu, kawasan hulu mutlak harus dihijaukan. Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Mubyar Purwasasmita, menyatakan bahwa hutan merupakan bendungan alam. Pohon bisa menyerap air hujan dan menyimpannya lewat mekanisme selaput air yang terdapat dalam akar pohon.

Selaput air itu memiliki kekuatan 74,6 joule per meter persegi, yang disebut tegangan permukaan. Jika ada 1 meter kubik saja yang ditanami pohon keras, terdapat energi 3,7 juta kilojoule untuk menahan air. "Ini lebih kuat dari beton, lebih kuat dari bendungan," ujar pria jebolan Universitas Nancy, Prancis, itu.

Citarum, dengan segala masalah yang ada, menurut Mubyar, harus ditangani secara terpadu. Selama ini, penanganan masalah Citarum dilakukan secara parsial menurut wilayah kewenangan. Ia mencontohkan, Kementerian Pekerjaan Umum hanya terfokus di bidang sungai, sedangkan kawasan hulu dipegang Kementerian Kehutanan.

Pejabat Pembuat Komitmen Pendayagunaan Tata Guna Air (PKK PTG) Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC), Asep Kuryana, sependapat. Sarjana teknik yang acapkali menjadi juru bicara BBWS ini mengungkapkan, meski program Integrated Citarum Water Resource Management Program (ICWRMP) telah bergulir, tetap saja sinergi belum terwujud karena ego masing-masing instansi yang berkepentingan.

Asep menerangkan, BBWSC sebagai Unit Koordinasi dan Manajemen Program ICWRMP tetap konsisten menjalankan tahapan program yang ada. Terkait program-program ICWMRP atau galib disebut Peta Jalan Citarum, pemberdayaan masyarakat adalah kuncinya. "Untuk itu, BBWSC berusaha memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait permasalahan yang ada di Citarum," katanya.

Sungai Citarum mengalir sejauh 269 kilometer, berkelok-kelok dengan topografi yang terjal hingga datar. Kontur Citarum yang demikian barangkali mirip problematika yang dihadapinya: panjang, berliku, serta penuh tanjakan dan turunan nan terjal.

Perlu kerja keras untuk menahan laju kerusakan itu, di samping memperbesar upaya pemulihan, sehingga label "The World Dirtiest River" (International Herald Tribune, 5 Desember 2008) dan "The Dirtiest River" (The Sun, 4 Desember 2009) perlahan tapi pasti sirna.

G.A. Guritno