Biar Nongkrong Tambah Asyik


Papan beroda itu berbalik 180 derajat di udara sebelum akhirnya menghempas tanah dengan sempurna. Itulah kickflip, salah satu trik dalam permainan skateboard. Sabtu sore itu (24/10), di Taman Cikapayang, Jl Ir. Juanda, Bandung, Andri (18) harus mengulang tujuh kali trik kickflip hingga berhasil mendarat di tanah dengan mulus. Ia berlatih skateboard saban dua hari sekali dalam seminggu di taman bekas Pom bensin tersebut.

Tapi sore itu menjadi tidak biasa bagi Andri, “Saya rada kagok maennya karena ada huruf besar itu,” tuturnya sembari mengelap peluh di kening. Huruf besar yang Andri maksud adalah papan setinggi 3 meter dan lebar 1,5 meter bertuliskan huruf D, A, G, dan O sehingga terbaca “Dago”.

Ornamen ini memang terlihat mencolok sehingga siapapun yang melintas di jalan Dago bisa dipastikan memalingkan mata. Warna hurufnya pun beragam. Huruf “D” berwarna biru, huruf “A” diwarnai merah muda, “G” berwarna hijau muda, dan “O” kuning.

Ornament huruf yang menelan dana Rp 35 juta per huruf itu sejatinya masih replika yang terbuat dari papan triplek. Januari tahun depan, ornament huruf itu akan dibuat secara permanen dari bahan besi tempa. Rancangannya sendiri masih belum final. “Semua desain masih dalam proses, tenang aja,” ujar George Timorison, sang perancang ornamen yang ia sebut proyek itu dengan nama Dago Icon Park.

Pembangunan Dago Icon Park ini tak lain untuk mengoptimalkan ruang publik yang sudah ada. Taman Cikapayang sendiri hari itu tampak seperti proyek setengah jadi. Batu bata merah masih terlihat di antara plester semen yang belum rapih. Tiga tiang lampu yang ada juga tampak kusam dan dari enam bohlam putih hanya tiga yang menyala. Tak ayal, Taman seluas seperempat lapangan bola menjadi temaram. “Kalo tempatnya gak nyaman siapa sih yang mau nongkrong,” kata Ridwan Kamil, ketua Bandung Creative City Forum (BCCF), organisasi yang menggagas pembangunan ornament “Dago”.

Sentuhan Seni

Emil – begitu Ridwan disapa – menambahkan, ruang terbuka akan punya nilai lebih jika diberi setuhan seni sehingga orang betah berlama-lama di taman. “Elemen estetika membuat orang cenderung mau datang untuk melakukan sesuatu, ya foto-foto, ngobrol-ngobrol, ataupun cuman duduk-duduk,” ujar arsitek jebolan Barkeley University ini.

Emil merujuk pada pembangunan ornamen dot bandung:Bandung Creative Emerging City tahun lalu. Menurutnya, setelah pembangunan itu, banyak orang dari luar Bandung berhenti sejenak untuk berfoto sebelum mereka pulang ke kota masing-masing. “yang pre wedding segala juga ada kok, ” katanya sembari tersenyum.

Sekretaris Daerah Kota Bandung, Edi Siswadi, pada acara peresmian ornamen “Dago” (24/10) berharap generasi muda Bandung bisa memacu diri untuk melakukan aktivitas kreatif yang positif dengan adanya ruang terbuka seperti Taman Cikapayang. Edi berpendapat, Taman kota tidak hanya berfungsi sebagai ruang hijau, tapi juga tempat untuk berkreasi. “Semakin banyak kreatifitas positif, tempat seperti Cikapayang juga akan semakin banyak,” ujarnya.

Senada dengan Edi, Emil berharap masyarakat bergairah dalam melakukan aktivitas budaya, seperti setiap komunitas membuat festival, dan merasa kompak dengan komunitas lainnya. “itu investasi budaya yang tidak ternilai,” katanya. Bagi Emil, ide-ide itu hanya akan muncul di masyarakat yang terbuka seperti di Bandung.

Hidupkan Rasa Memiliki

Taman Cikapayang sendiri memang kerap dimanfaatkan sebagai ajang anak muda Bandung melakukan kegiatan kreatif. Mendy (20) misalnya, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati ini kerap bermain trik sepeda mountain bike atau MTB. Mendy biasa beradu trik MTB bersama teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Urban Street.

Mendy mengaku, ruang-ruang publik seperti Taman Cikapayang perlu ditambah. “Daripada dibangun gedung terus, mending dibikin taman,” ujarnya. Ia juga menilai, pembangunan Dago icon park sebagai langkah positif karena bisa membuat taman ini menjadi ramai. “kita maen juga jadi ada yang nonton kan,” katanya sembari mengumbar senyum.

Andri juga sependapat dengan Mendy, sebagai penggila skateboard, ia merasa Cikapayang sudah penuh sesak karena banyaknya komunitas yang melakukan kegiatan di sana. “lebih enak kalo ada taman khusus skateboard atau BMX,” tuturnya. Cikapayang memang menjadi wahana kreatifitas anak muda Bandung bagi berbagai komunitas yang ada di Kota Kembang ini. Misalnya, komunitas Sepeda Bike to Work dan komunitas Food Not Bombs yang membagi-bagikan makanan secara gratis di Taman ini tiap Minggu sore.

Selain Taman Cikapayang, masih ada ruang-ruang public lainnya seperti Taman Lansia, Tegallega, Taman Maluku,

Budayawan, Hawe Setiawan menilai, selain membangun ruang publik secara fisik, pemerintah dan elemen masyarakat juga perlu menghidupkan kembali rasa memiliki terhadap ruang publik. Ia mencontohkan kasus sengketa lahan Gasibu. “Jangan pemprov aja yang merasa berkepentingan, tapi juga warga yang memang butuh ruang publik,” ujarnya di akhir acara diskusi bedah buku Jeihan berjudul “Bukuku, Kubuku” di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10).

Hawe beralasan, ada gejala ruang publik semakin sempit dan dikomodifikasi sehingga ruang publik yang tersedia didominasi mall dan pusat perbelanjaan. Dalam konteks pemikiran filsuf Perancis, Roland Barthes, saat zaman terus bergulir, ruang public berubah menjadi area ekonomi yang cenderung menihilkan estetika.

Senada dengan Hawe, Emil juga berpendapat, lebih baik mengunjungi taman kota jika hanya nongkrong ataupun berkreativitas. Terlebih, Taman Cikapayang, bakal dibangun juga jaringan internet nirkabel atau hotspot.


0 komentar:

Posting Komentar