Mencetak Wartawan

(ah macam kue bolu aja pake cetakan...)
Hari ini industri media tengah mengalami transisi yang luar biasa. Teknologi telah menghadirkan banyak inovasi bagi penyajian informasi kepada publik. Perilaku konsumen jurnalisme juga tengah mengalami perubahan luar biasa yang sama. Hari ini makin banyak orang yang tak lagi suka membaca "berita empat kolom". Mereka ingin dapat informasi sesegera dari layar komputer di tempat kerjanya, dari ponselnya di mana pun ia berada. Di banyak tempat di dunia, pun di Indonesia, kemunculan media sosial dan jaringan pertemanan lewat internet telah mengimbas pada rutinitas kerja media hari ini. Tiap tahun, ratusan profesional muda baru yang bergabung ke industri ini selepas menuntaskan pendidikan formalnya. Masih kuat anggapan di benak banyak orang bahwa lembaga-lembaga pendidikan media tidak menyiapkan para siswanya untuk menjawab perubahan kebutuhan yang dihadapi profesi ini. Di sisi lain, ruang-ruang redaksi juga mengalami tekanan yang sama. Mereka pun ada di bawah stress berat untuk melatih para profesional muda yang baru mentas dari kampusnya. Mungkin sudah jadi konvensi bahwa tiap bidang pekerjaan mesti punya dukungan pendidikan dan pelatihan untuk menjawab kebutuhan profesionalnya. Tentu saja soal apakah insitusi pendidikan yang ada bisa memenuhi tuntutan itu atau tidak, itu soal lain. Begitu pula halnya dengan media. Betapa pun ada banyak perbedaan mazhab yang bisa menjawabnya. Sebagian beranggapan bahwa seorang jurnalis itu "dilahirkan" dan karenanya tak ada urusannya dengan pendidikan, sementara yang lainnya bersikukuh di kubu yang berseberangan. Meski begitu, jumlah sekolah jurnalisme terus muncul dari masa ke masa, dan profesi ini pun telah menjadi salah satu pilihan populer di kalangan anak muda. Nah, berikut ini memang sekadar sebuah survei asal-asalan saya. Jelas sama sekali tidak sainstifik, belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya. Saya mengajak ngobrol beberapa wartawan muda, yang sebagian besar tidak saya kenal, saat kemarin-kemarin membantu mengurusi Bogasari Expo dan mereka meliputnya. Populasinya cuman 10 orang. Nah ini temuannya.

Tentang Pelatihan Media

- 80% dari para wartawan muda menginginkan masa magang, atau masa percobaan di awal karirnya, setidaknya 6 bulan agar mereka bisa punya cukup waktu untuk membuktikan dirinya. - 60% dari mereka merasa sulit untuk bisa bergabung dengan jajaran redaksi media-media terpandang. Alasannya, makin ketatnya proses seleksi di sana. Banyak dari mereka bermasalah ketika berhadapan dengan wawancara dan ujian tertulis saat proses seleksi. - Ada kebutuhan serius untuk memperbaiki pelatihan media yang saat ini ada.

Apa dibutuhkan untuk bisa jadi wartawan yang baik?

- Kemampuan berkomunikasi yang baik (80%), jaringan yang kuat pada sumber-sumber berita (90%) - Punya prinsip dan idealisme (40%) - 60% di antaranya merasa jurnalisme hari ini telalu terkomersialisasi dan timpang bias iklan

Tantangan

- 90% dari mereka merasa dibutuhkannya mentoring, pendampingan dari para seniornya untuk bisa menjadi wartawan yang baik. - Tapi 50% di antaranya mengaku sulit menemukan mentor yang tepat di tempat kerjanya - 60% para pewarta belia ini meyakini situasi ekonomi yang gampang gonjang-ganjing belakangan ini bisa setiap saat meluluhlantakkan karir jurnalismenya yang masih seumur jagung.

Apa kata mereka?

Sebagian besar dari mereka yang saya ajak ngobrol itu merasa bahwa pendidikan media bukanlah lahan pelatihan yang cukup, bukan kawah candradimuka yang menjadikan mereka seorang jurnalis. Problem yang selalu mereka tegaskan: terlalu teoritis ketimbang praktis, para dosennya nggak punya pengalaman empiris dan eksistensial sebagai jurnalis, silabusnya ketinggalan jaman, tidak menyentuh kenyataan riil di dunia media yang terus berubah dengan cepat, dan jarang sekali ada dosen tamu dari kalangan praktisi. Berikut beberapa kutipan komentar mereka.
"Masukan fungsionalnya sangat miskin. Banyak lulusan jurnalistik yang nggak paham proses kerja sebuah media. Mereka nggak tahu apa dan bagaimana kerja di ruang redaksi. Kemampuan menulisnya buruk, kemampuan mewawancarai sumber juga buruk, apalagi soal mencari dan menembus narasumber yang sulit dimintai informasinya. Soal etika malah lebih parah lagi. Rujukannya cuma apa yang mereka lihat di TV: para reporter ngerubungi sumber, duduk berjejal-jejal di konferensi pers, atau mengejar-ngejar komentar nggak penting dari selebritis yang lagi punya kasus." "Banyak sekolah atau kursus jurnalistik mengklaim silabusnya paling updated. Tapi nggak punya perpustakaan. Dan kalau pun ada jumlah bukunya cuman hitungan jari" "Apa yang diajarkan di kelas cuman teori doang. Sama sekali nggak cukup. Saya pernah ikut pelatihan jurnalistik, tapi waktu gabung ke media kenyataan kerja sehari-hari di lapangannya sama sekali beda."
Mayoritas pewarta muda teman ngobrol saya itu bilang bahwa on job training yang mereka dapat semata-mata adalah hasil inisiatifnya untuk mengamati dan belajar, kesediaan seniornya menjadi mentor, serta tradisi yang terbangun di media masing-masing. Tapi tetap saja itu bukan proses yang mudah.
"Media tempat kerja saya cuma ngasih pelatihan seminggu, setelah penerimaan karyawan. Setelah itu semuanya dilepas. redaktur kerjanya banyak nyuruh-nyuruh, nyaris nggak pernah ngajarin. Maklum, dia dateng siang dan langsung sibuk ama deadline. Wartawan-wartawan senior lainnya di kantor sibuk masing-masing. Jadi yang tergantung gimana bisa berakrab-akrab dengan mereka aja baru bisa sedikit-sedikit diajarin." "Saya iri ama teman-teman di majalah. Kalo di TV nggak ada training rutin buat mengasah kemampuan di lapangan. Pokoknya lu jalan aja sana. Kalo bagus, dapet banyak gambar dan interview, banyak yang ditayangin bagus. Berarti lu bisa lolos dan bertahan. Kalo nggak, selamat cemas sepanjang jaman deh. Buruan, siap-siap ngirim lamaran lagi ke sono kemari." "Saya merasa lebih banyak belajar dari teman-teman di lapangan dan dari para narasumber yang saya temui ketimbang apa yang diberikan dari para senior di kantor saya sendiri." "Kami boleh jadi beruntung. Ada program pelatihan dan dukungan serta mentoring dari senior. Jadi semuanya kembali pada seberapa besar rasa ingin tahu dan keinginan masing-masing untuk mau belajar dan lebih maju. Kita harus berani ngambil inisiatif, berani, dan nunjukin hasil dari semua itu. Kalo kitanya antusias pasti para redaktur yang lebih senang berbagi ilmu dan pengalamannya. Tapi kita nggak bisa bergantung pada waktu dan kemauan mereka membimbing kita. Kita harus punya kemampuan untuk bisa belajar dari mereka yang terbaik dan selalu buka mata dan telinga."
Selain para pewarta muda itu, saya beruntung sempat pula ngobrol dengan 2 orang wartawan senior, yang telah lebih 10 tahun menjalani profesi itu dan kini lebih banyak duduk di balik meja redaktur untuk menyunting berbagai laporan dari para reporternya di lapangan. Menarik juga ternyata menilik komentar mereka pada para juniornya.
"Wartawan-wartawan muda hari ini cuma mau enaknya aja. Maunya mengejar sumber-sumber yang lagi headline. Keroyokan ama reporter-reporter media lain. Dan cuma untuk mendapatkan informasi yang sama sekali nggak ekslusif. Nggak cukup untuk bisa dijagokan jadi headline untuk menantang media lain di pasar. Mereka juga banyak yang males membaca, males riset dulu sebelum ke lapangan. Dan sialnya, yang begitu itu biasanya datang dengan mimpi-mimpi besar, dan setelah 3-4 tahun, mengalami dilusi, patah harapannya, pupus mimpunya, nggak nyaman lagi dengan diri dan pekerjaannya, lantas pindah karir. Saya sih berharap mereka memasuki profesi ini dengan pandangan terbuka, open minded, menjajal semua aspek dari pekerjaannya itu, untuk kemudian memutuskan mereka mau berdiri di mana, apa keunggulan pribadi mereka sebagai seorang jurnalis. Daripada berusaha mengakali laporan ke para redakturnya, mendingan mereka memulai karir kewartawanannya dengan banyak membaca dan mengembangkan skill-nya dan belajar banyak dari rekan-rekannya." "Mereka menganggap kerja di media seperti jadi profesi lainnya. Dokter, insinyur, akuntan, dan sebagainya. Dan berharap bakal diupah sama menariknya dengan para pekerja kantoran yang mentereng lainnya. Tapi kenyataannya mereka diperah oleh media tempat kerjanya sendiri. Upah pekerja di banyak media sangat menyedihkan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota besar macam Jakarta. Recehan. Nggak ada UMR khusus buat wartawan, dan masih banyak media belum punya serikat buruh untuk membela kepentingan para pekerja di hadapan kepelitan para pemodal media."
Saya memang bukan lagi wartawan, pun bukan lagi dosen jurnalisme. Tapi pengalaman dan pengetahuan yang terbangun semasa muda saya itu jelas masih sangat berberkas kuat pada nyaris semua hal yang saya lakoni hari-hari ini di pabrik. Dan sebagai konsumen media, tentunya saya boleh-boleh saja berharap, memimpikan hadirnya lebih banyak media-media yang lebih mencerdaskan yang dikelola secara cerdas oleh para pewarta-pewarta yang cerdas karena mereka didik secara cerdas dan tumbuh di organisasi media yang kultur sehari-harinya sungguh mencerdaskan mereka. Betapapun kata orang dulu: "Wartawan itu ratu dunia." Terima kasih Mas Andreas. Tulisan ini pasti akan sangat bermanfaat. Dikutip dari milis jurnalistik unpad.

0 komentar:

Posting Komentar