Lewat Radio, Setelah Sebelumnya Kertas, Lalu Apa

"Pendidikan (bisa jadi) tertinggal dengan teknologi, (namun) yang disiapkan (dalam pendidikan) adalah pola pikir adaptif dengan kemajuan. Teknologi hanyalah alat."

Teknologi Komunikasi hingga kini masih terus mengalami perkembangan. Kita masih berada pada waktu yang berputar dan bergerak. Begitu pula dengan teknologi. Akan ada hal-hal yang baru yang mungkin saat ini masih hanya sebatas angan tetapi di kemudian hari mungkin teknolgi tersebut adalah bagian dari keseharian kita. Manusia masih akan terus memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan teknologi yang akan memberikan kemudahan kepadanya (manusia).

Mungkin tak terbayangkan pula di zamannya (zaman media cetak merajalela), sebuah teknolgi komunikasi bernama radio dapat hadir di tengah peradaban manusia. Penggunaanya serta kontennya terus berkembang sejak ditemukannya peranti keras tersebut. Berbagai muatan pun masuk ke dalam siarannya. Dapat disebutkan di antaranya yaitu penggunaan di bidang militer, hiburan, "corong" pemerintah, dan tidak ketinggalan yaitu bidang jurnalistik. Tentu saja bidang yang disebut terakhir ini mengalami penyesuaian dari sisi penyajian mengikuti karakteristik media itu sendiri, setelah sebelumnya melekat dengan media cetak.


Kajian tentang karakteristik radio tersebut dapat kita pelajari sekarang. Disebutkan bahwa karakter radio tersebut adalah auditif, sederhana, dan tanpa batas. Dengan "keauditifannya", radio dituntut mampu memciptakan Theatre of Mind tapi tetap antidetail karena radio itu selintas tanpa bisa diulang. Penyampaiannya harus tetap sederhana karena memang mekanisme kerjanya cukup sederhana. Dapat dimaklumi bila ada yang menganggap bahwa radio adalah Secondary Media atau dapat disebut pula Half Ears Media karena (siaran) media ini dapat dinikmati sambil lalu. Walaupun demikian, ihwal kecepatan informasi (aktualitas) radio adalah jawaranya. Selain itu, penyajian informasi via radio ini bersifat langsung layaknya dalam sebuah percakapan, sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa tutur. Dengan demikian, bahasa yang digunakan pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan bahasa di media cetak.

Kekhawatiran akan punahnya media yang telah ada akibat "kelahiran" media yang lebih baru tentu menyeruak ke permukaan. Namun, hal itu pada kenyataannya tidak terjadi. Masing-masing media menempati porsinya masing-masing karena memiliki karakteristik yang berbeda.

Hal ini perlu diingatkan kembali bahwa terjadi dalam "persaudaraan" media cetak dan media elektronik yang diwakili radio. Buktinya penemuan teknologi komunikasi yang lebih baru lagi yaitu televisi terbukti cukup "menggoyang" eksistensi media elektronik pendahulunya yaitu radio. Bahkan saat ini eksistensi televisi pun mampu menurunkan oplah media cetak secara tidak langsung akibat aksesnya yang lebih luas, selain dari kemudahan dalam menikmatinya. Manusia dapat lebih bersantai menikmati informasi sambil menonton dan mendengar dibanding harus membaca. Namun di samping itu, dari lihat (baca), dengar, dan lihat dan dengar pun, perkembangan media beserta jurnalistik masih turut menyertai.

Perkembangan teknologi informasi tidak berhenti di sana. Tuntutan sebuah media untuk tetap adaptif terhadap perubahan kembali harus diterima media cetak maupun elektronik. Hal ini dipicu oleh hadirnya media online yang sejalan dengan berkembangnya jaringan internet. Kembali sebuah shock therapy harus dirasakan media-media terdahulu (cetak yang terdiri dari koran dan majalah; elektronik yang terdiri dari radio dan televisi). Penyesuaian harus dilakukan.

Lahirlah apa yang disebut konvergensi media yang dibidani oleh Roger Fidler pada tahun 1998. Dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan konvergensi itu, sebuah media memadukan yunsur cetak ang berkomposisikan teks dan gambar, juga unsur elektonik yaitu suara dan video dalam sebuah media. Itulah media konvergen.

Melihat fenomena terakhir, kembali media harus kembali pada karakternya dan menguatkan karakternya tersebut, sehingga ancaman kepunahan takkan pernah terjadi. Misalnya saja radio, ia harus bisa kembali dan tetap lokal tanpa mengesampingkan kemajuan global. Mungkin begitu pula seharusnya televisi. Alasannya mencakup aspek ekonomi agar tidak berpusat di ibukota (tempat berkumpulnya korporasi media), lalu signifikasi isi dengan kebutuhan dan dinamika setempat, dan terakhir keanekaragaman budaya dan kearifan lokal dapat terjaga supaya tidak terjadi penjajahan kultural dan budaya massa yang melampaui batas.

0 komentar:

Posting Komentar