SISTEM PERS BRASIL
Dampak Televisi dan Cara Mengatasinya
Media massa cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol pada tahun ini (Tempo, 10/10).
Kriminalitas yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah melainkan masyarakat atas. Apakah fenomena tersebut murni akibat tayangan dari televisi? Lalu, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Bagaimana cara mengatasi dampak tersebut? Pihak-pihak yang berada di bidang pertelevisian merupakan salah satu faktor dari dampak ke masyarakat. Setiap ada masalah, tidak mungkin hanya terdiri dari satu faktor.
Dampak televisi ini dapat ditinjau dari segi sosiologis dan antroplogis. Dampak ini juga selalu menjadi wacana di surat kabar. Masalah ini memicu gejolak di hati para pemirsa.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Dimas Dito mewawancarai Rimbo Gunawan, Pakar antropologi dan sosiologi. Wartawan melakukan wawancara dengan Rimbo Gunawan di ruang dosen gedung C, Fisip Unpad Jatinangor, Senin (17/11) siang. Dosen yang dikenal nyentrik karena rambut gondrongnya ini lahir di Sukabumi pada tanggal 13 Mei 1967. Dosen yang sedang mengejar S3 di Universitas Ateneo de Manila ini merupakan dosen tetap ilmu pemerintahan Unpad. Keseharian beliau selain menjadi dosen adalah mengurus websitenya dan kelompok motornya yang berada di
Berikut petikan wawancaranya :
Menurut anda, bagaimana pengaruh televisi terhadap masyarakat?
Pengaruhnya secara sosiologis sangat besar kepada khalayak karena media biasanya menjadi rujukan. Hal ini menjadi studi kontemporer yang sangat besar. Hal ini terkait dengan power of media yang cukup kuat.
Mengapa pengaruh dari televise lebih mudah ditiru?
Karena sebagian orang menganggap televisi itu adalah cerminan masyarakat. Harapan orang terhadap televisi juga merupakan harapan masyarakat. Harus ada penguatan dari masyarakat itu sendiri untuk menyaring tayangan tersebut.
Ada kesan bahwa televisi itu cenderung memengaruhi masyarakat?
Televisi mempunyai kapasitas untuk memengaruhi masyarakat, bukan cenderung. Itu semua tergantung kepada manusianya itu sendiri. Di budaya Amerika seeing is believing. Ini adalah kultur di Amerika bahwa melihat itu lantas percaya. Di budaya Arab, listening is believing. Jika di Indonesia sendiri, melihat cenderung sebagai sesuatu yang dipercaya. Padahal itu bisa saja menipu.
Mengapa hanya orang-orang dari kalangan menengah ke bawah yang mudah terpengaruh oleh tayangan televisi?
Ini disebabkan karena tingkat kematangan mereka di level rendah. Setiap hari, mereka dicekoki oleh tayangan televisi yang menggambarkan pola hidup yang serba gampang. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang itu. Untuk itu, mereka mendapatkan kesempatan yang mudah dengan cara yang shortcut juga. Dengan cara-cara yang ilegal. Tetapi tidak hanya orang miskin saja yang mendapatkan kesempatan itu, orang kaya juga memiliki kesempatan. Yang membedakannya adalah kualitas atau modus pada strata sosial ini.
Contohnya bagaimana yang dimaksud dengan cara-cara yang ilegal?
Biasanya, orang miskin mengekspresikan secara kasar seperti mencuri, merampok, dan membegal. Beda lagi dengan orang kaya. Orang kaya melakukan kegiatan yang ilegal secara intelek dan halus seperti korupsi dan money laundring atau macam-macam. Yang jelas, mereka mempunyai kesempatan untuk itu.
menurut Ketua KPI, Bimo Nugroho, ada hubungan erat kekerasan dalam tayangan televisi dan di kehidupan nyata, bagaimana komentar anda tentang pernyataan tersebut?
Itu memang benar seperti yang saya katakan tadi bahwa apa yang dilihat itulah kenyataan. KPI memang tidak punya gigi, mereka mempunyai kewenangan untuk mengatakan baik dan tidak baik. Tetapi, aplikasi atau operasional dari sangsi itu tidak cukup kuat untuk menahan dan menegakkan apa yang menjadi kontrol masyarakat.
Menurut Pimpinan Redaksi TV One pada sebuah debat mengenai dampak buruk media di acara Barometer yang disiarkan di SCTV, berita tentang kekerasan atau narkoba jika tidak disiarkan juga akan menjadi masalah di dalam masyarakat, bagaimana tanggapan anda terhadap komentar tersebut?
Televisi bisa direspon beragam. Bisa jadi itu menginspirasi atau ini juga menjadi bahan pembelajaraan orang supaya tidak tertipu. Ini adalah positif dan negatifnya. Semua ini tergantung kepada pemirsa. Sayangnya, televisi sekarang tidak mencantumkan bahwa siaran ini harus ada bimbingan. Tanggung jawab tetap saja kepada pemirsa.
Apakah KPI sudah mengetahui dampak tersebut?
Saya kira mereka sudah mengetahui. Tetapi, mereka hanya mengeluarkan statement normatif. Mereka hanya memberi statement tetapi tidak mereka tidak mempunyai perangkat untuk mengontrol tayangan televisi. Misalnya tayangan televisi itu merusak dan mengganggu. Mereka hanya ngomong itu. Sekarang saja ada keinginan untuk menunda siaran tertentu, tetapi apakah itu efektif. Sebenarnya yang bekerja itu mekanisme uang artinya, tayangan itu ratingnya tinggi karena banyak orang suka. Tetapi kontennya tidak mendidik.
Jadi, hanya televisi saja yang harus mengontrol tayangan mereka?
Sebenarnya bukan televisi saja. Masyarakatnya juga harus mengontrol dengan cara menyaring apa yang ia tonton. Masyarakat harus mempunyai filter yang kuat dalam hal ini. Masyarakat harus dididik. Jika masyarakat melakukan boikot terhadap televisi, pasti yang mengalami kerugian adalah televisi itu sendiri. Sayang di Indonesia belum cukup kuat untuk mengontrol televisi. Di luar negeri, saya pernah melihat, masyarakat atau konsumen itu dapat menentukan bahwa televisi ini layak atau tidak. Mereka membuat statement tentang itu.
Lalu, bagaimana dengan pengaruh buruk terhadap anak-anak yang belum mempunyai filter dalam diri mereka?
Anak-anak harus diawasi oleh orang tua. Efektifnya, harus ada kontrol dari keluarga. Di Jepang, anak-anak hanya mempunyai waktu yang terbatas dalam menonton TV. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk belajar. Di Indonesia, anak-anak sepertinya kurang mendapatkan pengawasan karena orang tua mereka yang aktif bekerja. Tayangan yang bisa dibilang memengaruhi anak-anak sebaiknya ditayangkan di atas waktu prime time. Seperti jam sepuluh ke atas setelah anak-anak tidur.
Dalam kasus ini apakah murni hanya pihak televisi yang bertanggung jawab?
Kesalahan saya kira dari produsen. Intinya adalah yang harus bertanggung jawab adalah mereka yang mengijinkan siaran itu tayang. Masyarakat juga harus mempunyai control yang kuat.
Apakah pemerintah tidak ikut bertanggung jawab?
Apa lagi yang bisa diminta dari pemerintah. Sejak dulu, pemerintah sudah pernah membentuk badan sensor dan lembaga lainnya tetapi tetap tidak efektif. Semuanya kembali kepada kesadaran kolektif masyarakat itu sendiri. Mereka harus mengordinasikan sendiri apa yang baik untuk dirinya.
Disini, apakah televisi sekarang hanya mencari unsur kehebohan atau sensasi?
Itu memang betul. Sekarang televisi hanya condong kepada tayangan yang sifatnya glamour, mahal, hal-hal yang kaya materi, dan pergaulan bebas. Masih mengejar kepada sifat ekonominya.
Mengapa hal itu bisa terjadi di pertelevisian?
Saat ini, semua lebih karena ingin mendapatkan uang yang banyak. Untuk mendapatkan rating. Semua ini hanya persoalan bisnis semata.
Apakah ada media televisi yang benar-benar netral?
Saya kira tidak ada media yang netral. Semua pasti dimiliki oleh para pemilik modal. Media televisi di indonesia menganut sistem liberal. Sangat terbuka. Lihat saja di sebuah stasiun televisi yang dimiliki oleh Bakrie, televisi itu tidak akan memberitakan masalah lumpur Lapindo. Jika diberitakan, tidak akan bersifat provokasi. Ini semua demi kepentingan sang pemilik modal. Ada juga di stasiun televisi lain, acara Golkar bersama Surya Paloh yang ditayangkan berjam-jam. Padahal hal tersebut tidak berguna sama sekali.
Berkaitan dengan pengesahan RUU Pornografi, apakah kualitas televisi akan menjadi baik?
Saya kira akan berubah menjadi baik, tetapi kita lihat saja nanti. Sebenarnya saya tidak setuju dengan pengesahan tersebut karena dilihat dari kultur budaya akan memasung keberagaman. Masalahnya tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu pornografi. Moralitas saya kira tidak bisa dijadikan undang-undang.
Harapan anda tentang siaran televisi yang baik bagi masyarakat ?
Kalau saya harapannya bukan ke televisinya, tetapi lebih kepada masyarakatnya. Masyarakat harus bisa memilih. Televisi juga harus memiliki self control yang lebih baik lagi. Tetapi yang penting bagaimana mendidik masyarakat agar mereka paham bahwa televisi itu bukan segalanya. Apa yang ditampilkan di televisi itu bukan representasi kejadian yang mutlak. Televisi juga harus mengikuti aturan pemerintah atau aturan penyiaran segala macem. Masyarakat harus diperkuat lagi bahwa televisi bukan segalanya.
Media Baru Potensial Tegakkan Demokrasi yang Bebas Korupsi
Ruang publik belum seluruhnya dikuasai oleh kuasa negara dan kuasa modal, akan tetapi juga menunjukkan semakin pentingnya peranan media baru seperti internet, telepon seluler, dan jejaring sosial. Media baru ini telah mampu menggandakan informasi dan diskursus publik.
Itulah kutipan orasi ilmiah yang disampaikan Rizal Malik, M.A dalam acara puncak perayaan Dies Natalis ke-50 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran di Gedung Graha Sanusi Kampus Unpad Dipatiukur, Selasa (12/10). Selain civitas akademika dari Unpad dan universitas lain, turut hadir dalam acara tersebut beberapa perwakilan media.
“Siapa yang bisa menguasai internet? Gak ada yang bisa menguasai internet,” ungkap mantan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) ini saat diwawancara usai menyampaikan orasinya. “Itu punya potensi demokratisasi yang sangat besar,” sebutnya.
Rizal melanjutkan bahwa aksi nyata di kehidupan nyata adalah segalanya. “Kita tidak tahu apakah potensi itu bisa dilakukan untuk perubahan atau tidak. Bila tidak diriilkan dalam satu gerakan masyarakat yang terorganisasi, ia tidak akan bermakna apa-apa,” lanjutnya
Dalam orasi ilmiahnya, pria Minang yang sedari mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi ini menyebut bentuk konkret dari media sebagai pilar keempat demokrasi ini. “Keberhasilan mobilisasi dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam episode Cicak vgersus Buaya tahun lalu, ataupun mobilisasi dukungan kepada Pritha Mulyasari, merupakan dua kasus yang menunjukkan bahwa media dapat memainkan peranannya yang transformatif,” terangnya.
Orasi ilmiah yang berjudul “Menuju Pendidikan Komunikasi yang Demokratis” tersebut menyoroti tiga hal besar, yaitu demokrasi, korupsi, dan media. Tokoh yang posisinya di TII digantikan Teten Masduki ini dalam orasinya menyebut bahwa Indonesia negara bebas di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, masih tergolong sebagai salah satu negara korup.
“Inilah paradoks demokrasi di Indonesia. Kita bangga menjadi salah satu negara paling demokratis di dunia, akan tetapi demokrasi di Indonesia belum juga menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya, bahkan semakin membiakkan korupsi,” ungkap lulusan Fikom Unpad tahun 1981 ini dalam paparan orasinya.
Terkait media yang secara teori merupakan fasilitator diskursus dan perdebatan rasional dalam ruang publik, Rizal mengatakan dalam wawancara bahwa kini media tak lepas dari berbagai kepentingan. “Kepentingan politik dan kepentingan modal itu bisa masuk ke media,” lanjutnya.
Sebuah pengharapan dari mahasiswa angkatan 1974 ini kepada almamaternya, diutarakan di akhir orasi. Ia berharap, “Fakultas Ilmu Komunikasi memainkan peranan penting dalam pengembangan ruang publik yang baru, dan ikut aktif dalam membangun Indonesia yang demokratis, yaitu satu negeri yang memberikan akses kepada lebih banyak lagi warganya berpartisipasi dalam proses-proses politik, sehingga demokrasi dijamin keberlanjutannya di negeri ini.”
Rizal Malik merupakan salah satu lulusan Fikom Unpad—fakultas berpredikat sebagai satu-satunya fakultas ilmu komunikasi di perguruan tinggi negeri—yang turut memberikan sumbangsih untuk kemajuan negeri.
Tema dari Dies Natalis Fikom Unpad ke-50 ini yaitu “Dedikasi bagi Negeri”. Menginjak usianya yang dewasa, fakultas yang dipimpin Prof.Deddy Mulyana ini memiliki impian agar para civitas akademika dan lulusan Fikom Unpad dapat berkontribusi dan berdedikasi untuk negeri.
Dalam sambutannya, Prof.Deddy Mulyana mengatakan, “Ada impian bahwa pada suatu saat kelak, sebagian besar dosen dari Fikom Unpad ini akan menjadi para doktor dan profesor yang disegani, punya wawasan keilmuan yang luas, megnhasilkan karya-karya ilmiah berkualitas, dan berkiprah di masyarakat tanpa meninggalkan tugas utama mereka di fakultas.”
Fikom Unpad kini memang sudah bertransformasi, tak hanya dengan infrastrukturnya yang yang lebih lengkap tetapi juga dari segi kualitas pengajarannya dan pelayanannya kepada mahasiswa. Melihat perkembangan dunia komunikasi yang semakin pesat, kebutuhan akan para sarjana komunikasi yang berkompetensi menjadi meningkat. Hal itu pula yang menyebabkan Fikom Unpad begitu diminati oleh para calon mahasiswa. Pada awal berdirinya fakultas ini hanya memiliki 150 mahasiswa, dan kini jumlah mahasiswanya dapat mencapai sepuluh kali lipatnya. (AG)
Ir. Surjamanto, M.T: Handalnya Rumah Tradisional
Mencetak Wartawan
Hari ini industri media tengah mengalami transisi yang luar biasa. Teknologi telah menghadirkan banyak inovasi bagi penyajian informasi kepada publik. Perilaku konsumen jurnalisme juga tengah mengalami perubahan luar biasa yang sama. Hari ini makin banyak orang yang tak lagi suka membaca "berita empat kolom". Mereka ingin dapat informasi sesegera dari layar komputer di tempat kerjanya, dari ponselnya di mana pun ia berada. Di banyak tempat di dunia, pun di Indonesia, kemunculan media sosial dan jaringan pertemanan lewat internet telah mengimbas pada rutinitas kerja media hari ini. Tiap tahun, ratusan profesional muda baru yang bergabung ke industri ini selepas menuntaskan pendidikan formalnya. Masih kuat anggapan di benak banyak orang bahwa lembaga-lembaga pendidikan media tidak menyiapkan para siswanya untuk menjawab perubahan kebutuhan yang dihadapi profesi ini. Di sisi lain, ruang-ruang redaksi juga mengalami tekanan yang sama. Mereka pun ada di bawah stress berat untuk melatih para profesional muda yang baru mentas dari kampusnya. Mungkin sudah jadi konvensi bahwa tiap bidang pekerjaan mesti punya dukungan pendidikan dan pelatihan untuk menjawab kebutuhan profesionalnya. Tentu saja soal apakah insitusi pendidikan yang ada bisa memenuhi tuntutan itu atau tidak, itu soal lain. Begitu pula halnya dengan media. Betapa pun ada banyak perbedaan mazhab yang bisa menjawabnya. Sebagian beranggapan bahwa seorang jurnalis itu "dilahirkan" dan karenanya tak ada urusannya dengan pendidikan, sementara yang lainnya bersikukuh di kubu yang berseberangan. Meski begitu, jumlah sekolah jurnalisme terus muncul dari masa ke masa, dan profesi ini pun telah menjadi salah satu pilihan populer di kalangan anak muda. Nah, berikut ini memang sekadar sebuah survei asal-asalan saya. Jelas sama sekali tidak sainstifik, belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya. Saya mengajak ngobrol beberapa wartawan muda, yang sebagian besar tidak saya kenal, saat kemarin-kemarin membantu mengurusi Bogasari Expo dan mereka meliputnya. Populasinya cuman 10 orang. Nah ini temuannya.
Kuis Mafia Hukum
Jakarta - Karena mafia hukum bukan barang asing bagi kita, maka saya mengucapkan selamat datang kepada Anda di kuis yang saya pandu. Ada 10 pertanyaan yang harus Anda jawab di sini. Simak baik-baik.
1. Siapa nama presiden kita sekarang?
JAWAB (J): Pertanyaannya tidak relevan. Lanjutkan ke pertanyaan berikut.
Anda tidak mau menjawab? Anda melepaskan kesempatan untuk mengantungi modal dari pertanyaan yang sangat mudah ini?
J: (Menggeleng) Saya tidak mau mencatut-catut nama presiden.
2. Saya tidak akan memaksa. Selanjutnya, mana di antara ketiga institusi berikut ini yang perannya paling besar dalam penegakan hukum? Silakan pilih: kejaksaan, kepolisian, atau KPK.
J: Anggodo.
Apa alasan anda?
J: Ia membongkar nama-nama pejabat yang patut diduga bekerja sama dengan makelar kasus (markus).
3. Jika Anggodo perannya besar dalam penegakan hukum, penghargaan apa yang pantas diberikan kepadanya?
J: Saya sepakat dengan teman-teman yang sudah memberinya seragam polisi. Anda bisa melihat foto besarnya yang diarak oleh teman-teman saya itu. Mungkin mereka mengusulkan agar Anggodo benar-benar diangkat jadi Kapolri atau Kabareskrim Mabes Polri atau Kasatlantas atau Ka--- apa sajalah.
4. Sekarang kita masuk ke pertanyaan yang berkaitan dengan proses penyidikan di kepolisian. Barang bukti apa yang menguatkan keputusan bahwa seseorang patut dijadikan tersangka dengan tuduhan melakukan pemerasan?
J: Karcis parkir.
Anda yakin dengan jawaban anda?
J: Yakin sekali. Tanpa karcis parkir anda tidak bisa menjadikan seseorang sebagai tersangka.
Luar biasa, keyakinan anda sangat mengagumkan. Saya kira anda mempunyai bakat besar menjadi penyidik. Kita istirahat dulu minum-minum kopi sebentar. Baiklah, saudara-saudara sekalian, kita lanjutkan lagi ke pertanyaan berikutnya:
5. Dalam pidato Senin malam Presiden mengatakan kesungguhannya untuk memberantas makelar kasus. Anda menonton Presiden berpidato, bukan?
J: Ya. Dan anda hendak menanyakan lagi siapa nama presiden kita?
Tentu saja tidak! Kalau Anda betul-betul menyimak pidato itu, pertanyaan kelima ini pasti bisa Anda jawab dengan mudah: Siapa pihak yang paling dirugikan dengan pemberantasan markus?
J: Kawan-kawan saya, warga negara yang beragama Kristen dan Katholik. Dulu mereka pernah dirugikan juga pada zaman Petrus.
6. Karena Presiden mengatakan sangat serius, apakah menurut anda pemberantasan markus itu akan berhasil?
J: Tidak.
7. Anda meragukan kesungguhan Presiden?
J: Pertanyaan anda terlalu menggiring atau mengarahkan. Lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.
8. Bisa anda jelaskan alasan ketidakpercayaan anda?
J: Jaksa Agung Hendarman tidak bisa melihatnya dan hanya bisa mencium baunya. Kira-kira si markus ini beroperasi seperti kentut, begitulah. Apakah anda berpikir bahwa Jaksa Agung akan bisa menangkap kentut? Tidak. Dan apakah urusan Jaksa Agung adalah menangkap kentut? Tidak juga.
9. Sebutkan sedikitnya dua pihak yang paling diuntungkan dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
J: Pertama Menkominfo Tifatul Sembiring; ia melihat peluang dan langsung mengusulkan agar kementeriannya dijadikan satu-satunya penguasa penyadapan. Kedua Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Sebagai penikmat duren, ia mendapatkan barang yang disukainya.
10. Pertanyaan terakhir, negara Indonesia adalah negara hukum, itu tercantum dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-3. Menurut anda, apakah pencopotan Susno Duadji dari posisinya sebagai Kabareskrim merupakan langkah positif dalam kaitan Indonesia adalah negara hukum?
J: Pertanyaannya salah. Dari dulu Indonesia adalah negara kepulauan.
*) A.S. Laksana, penulis dan cerpenis tinggal di Jakarta
Sunda Underground :Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari

Malam minggu 24/10 tampak istimewa di Taman Cikapayang, Jl Ir Juanda. Selain terpampang empat huruf raksasa, DAGO yang pagi harinya bari diresmikan oleh Sekda Kota Bandung Edi Siswadi, di taman bekas pom bensin itu juga suasana tampak meriah, bocah-bocah berpakaian hitam-hitam khas pendekar unjuk gigi. Itulah Penca On the street, salah satu event dalam rangkaian gelaran Helarfest 2009.
Alunan metal khas sunda terdengar berseteru dengan bunyi kendaraan bermotor. Event itu dimulai dengan pertunjukan Karinding, sebuah seni metal tradisi Sunda yang konon bari dimainkan kembali setelah 300 tahun menghilang. Dan sang performer pun bukan orang biasa, malam itu Edy Brokoly tampil memainkan karinding.
Penca on the street hanyalah salah satu dari sekian kegiatan yang digelar oleh Sunda Underground, sebuah gerakan kebudayaan yang berusaha mengembalikan spirit kasundaan di kalangan anak muda. Menurut Dadang Hermawan (36), gerakan ini dinamakan Sunda Underground karena gerakannya pun memang bawah tanah dan berusaha menghindari sebisa mungkin orientasi ataupun persinggungannya dengan dunia politik.
Gerakan ini sendiri menurut Utun-sapaan Dadang buah dari gerakan kasundaan yang cenderung elitis, birokratis, dan politis. “Mereka hanya berdaulat secara politis ketimbang budaya,” katanya. Utun juga menilai, gerakan kasundaan yang ada cenderung menjauhkan kesenian dari massa rakyat. Ia mencontohkan, pertemuan salah satu ormas Sunda terbesar mengadakan pertunjukan kesenian di Hotel Savoy Homman. “Itu kan menjadi elitis sementara untuk menjaga kelestarian seni tradisi ini harus massif, spirit budaya itu milik rakyat, milik semua, bukan hanya milik kaum elite” tegasnya.
Sikap Utun terhadap memang birokrat memang galak. Pernah suatu kali pada acara Ahung Sabale Gandrung, Masyarakat tatar Sunda, tahun 2005 di Pasir Impun, Dada Rosada, Dani Setiawan, ketua umum Paguyuban Pasundan, dan beberpa anggota DPR RI datang. Utun menyuruh mereka duduk di bawah bersama masyarakat lainnya. “Saya waktu itu bilang, saya tidak mengundang bapak, kalopun bapak datang, silahkan bapak berlaku sebagai rakyat,” tuturnya mantap.
Utun menginisiasi gerakan ini pada 2003. Awalnya ia mengadakan acara tumpek indung poe di sumur bandung. Lantas, perlahan menggelar rajahan, ruwatan gunung, dan penca on the street. Bagi Utun, meskipun hanya tampak permukaan, tapi setidaknya Sunda Undergorund minimal bisa mengenalkan Budaya Sunda kepada kalangan muda.
***
Gerakan Sunda Underground mulai memengaruhi anak muda Bandung terutama di komunitas metal metal sejak Utun bersinergi dengan komunitas Ujugn Berung Rebels tahun 2007. Di acara festival metal Bandung Deathfest kedua tahun 2007, Utun yang kebetulan sangat menggandrungi metal metal dan punk rock mulai mengenalkan atribut-atribut kebudayaan Sunda seperti ikat kepala, pin kujang. Pagelaran metal metal tahunan itu juga mempertunjukan debus dan pencak silat, sebuah hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Iman Rachman, salah satu pegiat di komunitas Ujung Berung Rebels mengatakan, embrio semangat kasundaan di kalangan komunitas metal Ujung Berung sudah ada sejak 1995. Kala itu band Sonic Torment menggunakan bahasa Sunda dalam setiap lagu-lagu mereka. Ini hal yang tidak lazim karena tren music pada waktu itu adalah membawakan lagu band luar negeri semirip mungkin.
Sonic Torment bubar pada 1998 dan setelah itu tidak ada lagi band seperti Sonic Torment. Sekitar 2002 semangat kasundaan mulai menunjukan grafik naik, pasalnya komunitas metal ujung berung membuat panggung sendiri karena tren waktu itu adalah Emo. Panggung sendiri dan punya identitas sendiri .
Iman yang biasa dipanggil Kimung ini menuturkan, semangat kasundaan di komunitas metal entah apa sebabnya tiba-tiba menjadi besar dan massif pada 2007. Hal sederhana yang bisa dilihat antara lain penggunaan lambing kujang sebagai logo Bandung Death Metal Syindicate dan pemakaian slogan Panceg Dina Galur. “Itu jelas menunjukan identitas Sunda,” tuturnya.
Kimung mengatakan, sekarang para pentolan di Ujung Berung Rebels seperti Eman (Jasad), Ameng (Disinfected), Okid (Gugat) sudah nyunda. Semua vokalis band cadas ini mulai pake iket, mulai mengajak hadir di acara tumpek kaliwon, tumpek, Kapabaru Sunda, rajahan, dan kegiatan lainnya. Kimung menuturkan, meski tampak secara permukaan,tapi hal itulah yang bisa membangun kesadaran diri dalam. “Setidaknya komitmen komunitas terhadap kasundaa sudah menguat,” ujanrya.
Terlebih, lanjut Kimung, Ujung Berung Rebels sendiri sudah menjadi perhatian global karena banyak periset dari luar negeri seperti Swedia, Amerika, dan Jerman meneliti Ujung berung Rebel. Ia berharap, dengan para kokolot di komunitas ini mulai concern ke Kasundaan sehingga para nonoman (pemuda) juga turut concern pada masalah yang sama. “Lokalitas harus diperkuat jika sudah berbicara pada tataran global, kalo gak mau kelibas” terangnya.
Utun sendiri secara pribadi merasa bahagia melihat perkembangan gerakan kasundaa di kalangan anak muda yang semakin massif. “Pakai ikat kepala, pin kujang dan itu menunjukan kebanggaan jatidiri mereka sebagai orang Sunda,” kata Utun dengan nada sumringah.
***
Untuk membangun sebuah gerakan tentunya butuh pengorbanan, baik tenaga, pikiran, terutama uang. Sunda Underground sendiri berprinsip tidak mau mengemis dana dan kerajinan bikin proposal. “Kalo dikasih ya diterima, tapi kalo minta mah hoream,” ujar Bapak dua anak ini.
Utun bercerita, pernah dia kirim proposal ke pemerintah, prosesnya sangat lama, enam bulan baru bisa cair sedangkan jumlah dana yang cair hanya Rp 250 ribu. “Mending jualan Aqua lah,” kata Utun dengan nada tawa.
Selain itu Utun pernah dua kali menggadaikan BPKB motor. Dari empat gelaran Penca On the street, dua kali gelaran dananya berasal dari kantong pribadi Utun. “Kalo saya punya keinginan, saya sendiri yang harus menjalankan dan pake duit sendiri,” tegasnya. Utun mengaku, selalu rezeki selalu datang dari tempat yang tidak terduga.
Dalam mendanai setiap kegiatan Sunda Underground, Utun lebih suka mengedepankan partisipasi publik untuk menumbuhkan kebanggan atau kareueus. “Kalo mereka udah cinta mah, ada duit ya ngasih, tapi kalo gak cinta, ada duit juga males ngasih,” terangnya.
bisa juga di
http://www.facebook.com/note.php?note_id=169841028429
http://helarfest.com/2009/metal-tapi-nyunda-kenapa-tidak/
Biar Nongkrong Tambah Asyik


Papan beroda itu berbalik 180 derajat di udara sebelum akhirnya menghempas tanah dengan sempurna. Itulah kickflip, salah satu trik dalam permainan skateboard. Sabtu sore itu (24/10), di Taman Cikapayang, Jl Ir. Juanda, Bandung, Andri (18) harus mengulang tujuh kali trik kickflip hingga berhasil mendarat di tanah dengan mulus. Ia berlatih skateboard saban dua hari sekali dalam seminggu di taman bekas Pom bensin tersebut.
Tapi sore itu menjadi tidak biasa bagi Andri, “Saya rada kagok maennya karena ada huruf besar itu,” tuturnya sembari mengelap peluh di kening. Huruf besar yang Andri maksud adalah papan setinggi 3 meter dan lebar 1,5 meter bertuliskan huruf D, A, G, dan O sehingga terbaca “Dago”.
Ornamen ini memang terlihat mencolok sehingga siapapun yang melintas di jalan Dago bisa dipastikan memalingkan mata. Warna hurufnya pun beragam. Huruf “D” berwarna biru, huruf “A” diwarnai merah muda, “G” berwarna hijau muda, dan “O” kuning.
Ornament huruf yang menelan dana Rp 35 juta per huruf itu sejatinya masih replika yang terbuat dari papan triplek. Januari tahun depan, ornament huruf itu akan dibuat secara permanen dari bahan besi tempa. Rancangannya sendiri masih belum final. “Semua desain masih dalam proses, tenang aja,” ujar George Timorison, sang perancang ornamen yang ia sebut proyek itu dengan nama Dago Icon Park.
Pembangunan Dago Icon Park ini tak lain untuk mengoptimalkan ruang publik yang sudah ada. Taman Cikapayang sendiri hari itu tampak seperti proyek setengah jadi. Batu bata merah masih terlihat di antara plester semen yang belum rapih. Tiga tiang lampu yang ada juga tampak kusam dan dari enam bohlam putih hanya tiga yang menyala. Tak ayal, Taman seluas seperempat lapangan bola menjadi temaram. “Kalo tempatnya gak nyaman siapa sih yang mau nongkrong,” kata Ridwan Kamil, ketua Bandung Creative City Forum (BCCF), organisasi yang menggagas pembangunan ornament “Dago”.
Sentuhan Seni
Emil – begitu Ridwan disapa – menambahkan, ruang terbuka akan punya nilai lebih jika diberi setuhan seni sehingga orang betah berlama-lama di taman. “Elemen estetika membuat orang cenderung mau datang untuk melakukan sesuatu, ya foto-foto, ngobrol-ngobrol, ataupun cuman duduk-duduk,” ujar arsitek jebolan Barkeley University ini.
Emil merujuk pada pembangunan ornamen dot bandung:Bandung Creative Emerging City tahun lalu. Menurutnya, setelah pembangunan itu, banyak orang dari luar Bandung berhenti sejenak untuk berfoto sebelum mereka pulang ke kota masing-masing. “yang pre wedding segala juga ada kok, ” katanya sembari tersenyum.
Sekretaris Daerah Kota Bandung, Edi Siswadi, pada acara peresmian ornamen “Dago” (24/10) berharap generasi muda Bandung bisa memacu diri untuk melakukan aktivitas kreatif yang positif dengan adanya ruang terbuka seperti Taman Cikapayang. Edi berpendapat, Taman kota tidak hanya berfungsi sebagai ruang hijau, tapi juga tempat untuk berkreasi. “Semakin banyak kreatifitas positif, tempat seperti Cikapayang juga akan semakin banyak,” ujarnya.
Senada dengan Edi, Emil berharap masyarakat bergairah dalam melakukan aktivitas budaya, seperti setiap komunitas membuat festival, dan merasa kompak dengan komunitas lainnya. “itu investasi budaya yang tidak ternilai,” katanya. Bagi Emil, ide-ide itu hanya akan muncul di masyarakat yang terbuka seperti di Bandung.
Hidupkan Rasa Memiliki
Taman Cikapayang sendiri memang kerap dimanfaatkan sebagai ajang anak muda Bandung melakukan kegiatan kreatif. Mendy (20) misalnya, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati ini kerap bermain trik sepeda mountain bike atau MTB. Mendy biasa beradu trik MTB bersama teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Urban Street.
Mendy mengaku, ruang-ruang publik seperti Taman Cikapayang perlu ditambah. “Daripada dibangun gedung terus, mending dibikin taman,” ujarnya. Ia juga menilai, pembangunan Dago icon park sebagai langkah positif karena bisa membuat taman ini menjadi ramai. “kita maen juga jadi ada yang nonton kan,” katanya sembari mengumbar senyum.
Andri juga sependapat dengan Mendy, sebagai penggila skateboard, ia merasa Cikapayang sudah penuh sesak karena banyaknya komunitas yang melakukan kegiatan di sana. “lebih enak kalo ada taman khusus skateboard atau BMX,” tuturnya. Cikapayang memang menjadi wahana kreatifitas anak muda Bandung bagi berbagai komunitas yang ada di Kota Kembang ini. Misalnya, komunitas Sepeda Bike to Work dan komunitas Food Not Bombs yang membagi-bagikan makanan secara gratis di Taman ini tiap Minggu sore.
Selain Taman Cikapayang, masih ada ruang-ruang public lainnya seperti Taman Lansia, Tegallega, Taman Maluku,
Budayawan, Hawe Setiawan menilai, selain membangun ruang publik secara fisik, pemerintah dan elemen masyarakat juga perlu menghidupkan kembali rasa memiliki terhadap ruang publik. Ia mencontohkan kasus sengketa lahan Gasibu. “Jangan pemprov aja yang merasa berkepentingan, tapi juga warga yang memang butuh ruang publik,” ujarnya di akhir acara diskusi bedah buku Jeihan berjudul “Bukuku, Kubuku” di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/10).
Hawe beralasan, ada gejala ruang publik semakin sempit dan dikomodifikasi sehingga ruang publik yang tersedia didominasi mall dan pusat perbelanjaan. Dalam konteks pemikiran filsuf Perancis, Roland Barthes, saat zaman terus bergulir, ruang public berubah menjadi area ekonomi yang cenderung menihilkan estetika.
Senada dengan Hawe, Emil juga berpendapat, lebih baik mengunjungi taman kota jika hanya nongkrong ataupun berkreativitas. Terlebih, Taman Cikapayang, bakal dibangun juga jaringan internet nirkabel atau hotspot.
for the blue for our hullaballuuu

-journalist's daily quotes-
kisah biru yang terkait dari 53 kabel yang saling terikat
memaksa kita untuk santun dengan hakikat
aku, kamu, dan kita adalah pohon
bukan televisi yang hanya dapat kau tonton
kami adalah laut
dengan kesegaran dan kedalaman berkarya maut
kami membunuh mereka yang bising
akan coretan dan isu-isu dari pena yang runcing
kamu adalah inti
kita adalah akar
biruku kini berubah menjadi baru
kini semua berlalu
namun masih ada hari depan menunggu
for the blue
for our hullaballuu
(jurnalistik 2007 -we'll be together in several years guys-)
Dua Jenis Manusia

Ada dua jenis manusia. Pertama, yang membuat kisah pribadinya, dan kedua, yang membuat sejarah.
Tujuan mereka yang membuat kisah pribadi adalah untuk kepuasan dirinya sendiri, sedangkan manusia yang membuat sejarah berusaha untuk melayani seluruh manuia. Perhatian seorang yang membuat kisah pribadi berputar pada dirinya sendiri. Dia melayang-layang di sekitar wilayah di mana kepentingan dirinya dapat tercukupi. Hatinya penuh dengan kebahagiaan jika dia berhasil meraih sesuatu bagi dirinya, tetapi bila tidak ada sesuatu yang dapat diraihnya, maka tidak ada kebahagiaan dalam dirinya.
Sedangkan orang yang membuat sejarah adalah sosok yang berbeda. Ia keluar dari kerangka dirinya. Hidup bukan untuk diri sendiri tapi untuk satu tujuan yang lebih tinggi. Yang menjadi perhatian adalah masalah prinsip, bukan keuntungan. Ia tidak peduli apakah dirinya akan meraih kemenangan atau menderita kerugian; yang lebih penting adalah idealismenya harus tersalurkan. Seolah-olah ia telah melepaskan diri dari pribadinya sendiri dan menancapkan benderanya pada berbagai kepentingan kemanusiaan.
Lalu bagaimana agar dapat menjadi orang yang membuat sejarah? Ada satu hal yang harus dilakukan. Yaitu, berhentilah menjadi orang yang membuat kisah pribadi. Begitu seorang menghapuskan kepentingan pribadinya, maka dia akan mampu membangun masa depan kemanusiaan. Sosok seperti ini meletakkan keluhan-keluhannya hanya ke satu sisi. Figur seperti ini yang akan diperhitungkan dalam sejarah manusia. Mereka adalah orang-orang yang atas keinginannya sendiri, konsen terhadap kepentingan kemanusiaan; mereka tidak mengambil hak untuk mendapatkan perlindungan; mereka hanya memiliki tanggung jawab, yang mereka lakukan dengan resiko apa pun bagi dirinya.
Now, which one are you going to be?
jika aku jadi kamu....
glek.
dari sana kedua teman itu tak lagi sedekat biasanya... malah bisa dibilang bermusuhan. gak saling sapa, gak lagi ngajakin kalo ada acara bareng, dsb dsb.
KALO AKU JADI KAMU. kenapa ya, kita kadang merasa PD bisa melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang dilakukan si A kalau kita jadi A?
Kalo aku jadi SBY ya, gak bakal aku naekin harga BBM itu..
kalo aku pengamen cilik itu, aku gak bakal mau ngamen lagi, mending usaha daripada ngamen... malu-maluin..
kalo aku jadi kamu... aku gak akan bla...bla...bla...
kalo aku jadi dia aku bakal... bla...bla...bla...
kalo dipikir ulang kalo kita jadi dia tapi gak ngelakuin apa yang dia lakuin, kita tidak lagi sedang menjadi dia.
lagipula kalo kita jadi dia, kita tidak akan menjadi kita yang memiliki pola pikir seperti kita sekarang, yang hidup di keluarga kita sekarang, yang bergaul dengan teman2 kita sekarang, yang mungkin bisa lebih dekat dengan teman ketimbang keluarga, dsb dsb..
kalo kita membayangkan "kita jadi dia", kita tentu harus pula membayangkan kita hidup di keluarga dia yang mendidiknya hingga memiliki pola pikir seperti sekarang, kita juga harus membayangkan hidup di lingkungan pertemanannya yang membentuknya seperti sekarang, kita juga harus membayangkan kita punya pola pikir seperti dia, kita juga harus mau menerima kalo dia lebih dekat dengan keluarga daripada dengan teman...
bisa jadi setelah kita mencoba membayangkan semua itu, kita batal untuk mengatakan "jika aku jadi kamu aku gak bakal ngelakuin yang kamu lakuin" tapi mungkin kita justru akan bilang "kalo aku jadi kamu, sepertinya aku juga bakal ngelakuin apa yang kamu lakukan"
tapi kita bisa mengganti kalimat "kalo aku jadi kamu" dengan "kalo aku ada dalam posisimu", meskipun itu tetap saja tidak boleh dijadikan alasan bagi kita untuk memaksakan kehendak kita pada orang lain, karena yang penting, baik, keren di mata kita bisa jadi sebaliknya di mata orang lain.
bila sudah begitu, sifat egois pun jadi relatif.
si A bilang si B egois karena lebih mengutamakan keluarga daripada teman.
si B pun bisa jadi bilang si A egois karena tidak memikirkan betapa pentingnya arti keluarga buat si B.
....
tidak terlalu cepat menghakimi dia egois, dia salah, adalah lebih baik.
yang lagi renggang karena salah paham, yuk ah kompakan lagi...
_mee_
sejarah terbit yang hilang
beberapa waktu yang lalu kami datang. dengan tulisan, kami semua meyakini bahwa hal tersebut sangatlah arogan. oretan kami penuh prahara. memancing amarah para mereka yang pintar dan bijak. sekarang setelah semua selesai kami pun seperti hilang. terbuai akan kesenangan dan kesulitan yang telah diatasi. kemana kami membawa diri ini? ketempat jauh dari wadah tampungan bakat. waktu menjadi Tuhan. waktu kini mendatangkan kesenangan.
sejarah ini akan dikenang. suka dan duka tersimpan disini. kami telah pergi jauh. jauh dari renungan dan curahan.
ini yang dianggap sejarah awal yang tampak dilupakan. kemana bocah yang dulu kesal. kemana bocah yang dulu menjadi penengah. kemana bocah yang dulu bercurhat. opini dan tulisan seperti titik hitam dalam lingkaran angkasa.
apakah kami lelah? apakah kami bosan? apakah kami terlalu bangga atas apa yang kami dapatkan?
buatlah ini menjadi wadah dimana anak-cucu kita kelak akan membacanya.
jangan biarkan ini berlalu tanpa nafas seperti sejarah terbit yang hilang. seperti pohon yang bangga atas buahnya dan menghilangkan akarnya.
The day I got "Blue" is the day i lost you....
The day i got blue is the day i lost you....
Did u know?
when the "blue" was ours, everybody surround me was very happy...
maybe they enjoyed their feeling... ya maybe they felt free after the busy 4 months we had..
but, why did I feel so worry?
it's my time.. it's our time..
i thought i had no reason to be worry...
oh, wait... yes i did.
ya, it's all about you....
now, i knew,
the day i got "blue" is the day I lost you...
sorry..
i can't do nothing 4 you but just help you to scratch your back when you lied weakly....
i can't do nothing 4 you but just help you to eat the watermelon, the one and only food u can eat...
that's the last time i saw you... the seventh of february 2009... ten days before i lost you...
ya, the day i got "blue" is the day i lost you...
_love you grandpa_
_mee_
belajar bahasa inggris ceritanya....
"Sedih karena kehilangan seharusnya tidak pernah ada dalam kamus bahasa apapun" (Budi Hermawan:Dosen UPI)
Membayangkan Menjadi Wartawan
Namun karena keterbatasannya, hak-hak tersebut didelegasikan kepada wartawan. Wartawan diamanahi oleh khalayak untuk mencari tahu dan memberitahukan fakta atau realitas yang benar. Selain itu, wartawan harus memperhatikan nilai-nilai berita sebelum menyajikan realitas dalam media massa bahkan sebelum melakukan wawancara. Adapun acuannya yaitu: penting, kedekatan, aktualitas, ukuran, ternama, konflik, seksualitas, emosi, luar biasa, konsekuensi, kemajuan, mukjizat, dan tragedi.
Setelah salah satu acuan tersebut terpenuhi, barulah wartawan dapat melakukan “perburuan”. Banyak-sedikit dan tinggi rendahnya kualitas hasil “perburuan” sangat bergantung kepada kekayaan wartawan tersebut. Kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan intelektual dan emosional serta kekayaan sosial dan rohaniahnya. Sebagai salah satu bentuk “perburuan”, wawancara pun harus cermat diperhitungkan oleh seorang wartawan dengan memilih jenis pertanyaan. Kualitas jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara. Dengan sikap yang profesional, wartawan tentunya akan dapat melaksanakan mandat yang diemban dari khalayak yang sangat mengharapkan kebenaran. Untuk melaksanakan tugas itu, wartawan harus bebas dan harus lepas dari iming-iming imbalan.
“Kalau saya harus memilih antara Pers bebas dan dengan pemerintah, maka saya akan pilih pers bebas”, demikianlah yang dikemukakan oleh Thomas Jefferson. Beliau mencoba memberikan sebuah ilustrasi dimana pers yang bebas aadalah lebih baik daripada pemerintah yang tidak dikontrol. Ilustarasi diatas jika ditarik dalam konteks Indonesia, maka hal itu mungkin terlihat naïf, dan jauh dari realitas. Indonesia pasca keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah dilanda euphoria kebebasan. Implikasi dari kebebasan ini salah satunya ialah kebebasan pers, dimana pemerintah atau siapa pun tidak diperkenankan untuk mengatur dan mendikte pers mengenai pemberitaan dan menghalangi pers untuk memberikan kritik terhadap pemerintah.
Tuntutan seperti ini dapat dipahami dari dua sudut pandang yang pertama dalam kerangka kesejarahan dimana ada sebuah trauma masa lalu yang telah dialami pers Indonesia dalam era Orba, kita bisa mencatat beberapa kasus yang menunjukan represifitas terhadap pers ketika pemberitaannya tidak berkenan di hati penguasa, pembredelan majalah Tempo, kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin di Bantul dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Yang kedua terkait dengan tuntutan demokratisasi akhir-akhir ini independensi pers merupakan sebuah tuntutan mutlak bagi berjalannya sebuah proses demokrasi, dikarenakan pers selama ini telah berfungsi sebagai “The fourth estate” pilar keempat dari negara demokrasi selain legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dimana menurut Montesque harus ada pemisahaan terhadap ketiga hal tersebut, dan seiring dengan perkembangan zaman maka pers dianggap merupakan lembaga yang keempat dan harus terpisah dari ketiga lembaga lainnya.
Permasalahan yang timbul disini ialah adanya ekses dari kebebasan pers, yaitu terkait dengan keprofesiaan wartawan dimana sering terjadi penyalahgunaan dari press card untuk mendapatkan uang, hal ini bisa dilihat dari adanya sebuah pameo dikalangan wartawan jika ada seorang waratawan meminta gaji pada penerbitnya untuk meminta gaji, penerbitnya menjawab buat apa kamu memiliki pers card. Dimana hal ini menandakan kartu pers tersebut harus digunakan[1], dalam mencari nafkah hal ini bisa kita temukan didalam pada saat ini dengan sebutan Wartawan Amplop.
Implikasi terhadap penyalahgunaan profesi pers ini akan berdampak sangat luas, dimana tidak hanya hal ini mengancam kebebasan pers itu sendiri, tapi juga mengancam proses demokrasi, dan yang lebih penting ialah untuk mencegah terjadinya tirani pers dimana pers akan dijadikan alat politik karena adanya sogokan untuk membuat berita dan wartawan amplop bisa digunakan kearah tersebut, hal ini dikarenakan kemampuan untuk memanipulasi yang dimiliki oleh pers sangatlah luar biasa. Kemampuan ini dapat kita ilustrasikan sebagai berikut, ada mahluk asing yang akan segera menyelesaikan desertasinya untuk mengambil Phd, dimana dia akan meriset tentang Permainan Sepak Bola berdasarkan pemeberitaan surat kabar yang ada diperpustakaan dalam desertasinya dia menggambarkan bahwa sepak bola merupakan permainaan yang menarik dan dia dinyatakan lulus. Setelah menyelesaikan studinya dia diberi kesempatan untuk menonton sepak bola langsung di Bumi, ternyata dia sangat kecewa dengan hal tersebut dan seharusnya dia tidak lulus karena dari 90 menit pertandingan hanya 5 atau 10 menit saja yang seru. Dan karena dia tidak pernah melihat permainan sepak bola sebelumnya, sehingga dia menarik kesimpulan bahwa sepak bola tersebut hanya seru 5 menit seperti yang diceritakan dikoran. Hal demikian menunjukan kemampuan memanipulasi yang sangat luar biasa, bahkan Hitler menyadari hal ini dan menjadikannya alat propaganda dan ada sebuah pameo yang terkenal darinya “kebohongan yang diberikan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran” dan kebohongan ini disebarluaskan menggunakan media sebagi sarananya.
dari berbagai sumber