Mencoba Memahami


Sebuah senyuman mengawali tulisan ini. Berawal dari hati bukan dari otak, tapi tanpa mengesampingkan otak. Kata orang, kalau menulis itu harus dari hati, jadi apa yang ditulis adalah apa yang dirasakan, bukan dari otak, apa yang ditulis adalah apa yang dipikirkan. Tapi tetap saja, menulis itu harus pakai otak. Segala fungsi saraf dibutuhkan saat proses menulis. Otak sampai saat ini diyakini sebagai pusat kendali saraf.

Itu sekelumit pengetahuan yang masih menempel di memori. Mohon dimaklumi, latar belakang dari kelas IPA saat di SMA dulu, belum bisa dihilangkan. Bila teman-teman ingin tanya soal "daleman" manusia secara fisik, teman-teman tidak akan salah tempat. Walau sekarang bergelut di ranah sosial, pelajaran sains masih belum lekang. Setidaknya, pengetahuan dari mulai sel hingga organisme masih dimengerti, walau sedikit.

Sebenarnya, bagi yang bukan berlatar belakang IPA pun, sains apalagi mengenai manusia secara kasat mata, itu mudah dipahami. Orang ngerti kenapa seseorang yang makan makanan pedas (bagi yang tidak biasa) jadi mencret-mencret. Atau kenapa seseorang itu lapar, kenapa berkeringat, kenapa seseorang kalau malu mukanya merah, orang-orang tahu alasannya, tahu ilmunya dan mudah dipelajari atau lebih tepatnya mudah dipahami.

Lalu bagaimana "daleman"-nya yang tidak kasat mata. Maksudnya bukan yang tertutup pakaian, melainkan yang memang benar-benar tidak bisa dilihat apalagi diraba tapi hanya bisa diterawang. Penerawangannya pun dapat menimbulkan multitafsir. Perlu verifikasi yang mendalam mengenai penerawangan tersebut kepada orang yang bersangkutan.

Sedikit berbicara teori komunikasi, seseorang itu dipengaruhi field of experience dan frame of reference. Untuk tercapai komunikasi yang well tune, hanya perlu sedikit saja irisan yang sama. Kedua elemen itu memang signifikan memengaruhi sikap dan tindak tanduk sesorang. Dengan perbedaan kedua elemen itu di setiap orangnya, menjadikan setiap orang memiliki keunikannya tersendiri. Itulah manusia, unik dan beda setiap orangnya. Malah, bila tidak punya keunikan tersendiri, perlu dipertanyakan predikat ke"manusia"annya. Kalaulah ada keseragaman, sekali lagi itu hanya irisan kecilnya saja. Dengan ada kesamaanlah, persatuan dan kesatuan dapat dibangun. Bila ada perbedaan apalagi pertentangan, yang terjadi adalah kebalikannya. Perlu kesamaan yang fundamental untuk membentuk suatu keseragaman. Memang itu tidak dapat dipaksakan. Hal-hal semacam inilah yang masuk kategori tidak kasat mata. Abstrak.

Seorang teman lama yang dulu pernah satu SMP kirim sms, "sbagai partner setia & spemikiran,tlOng kasi 1 alasan /motif lOgis knp saia hrs mngrjkn tgs2 yang mlai mnggila ini?! Saia krg b'smngt nih. G ad mOtivasi kuat." Sebagai informasi dia kuliah di Jurusan Sastra Inggris semeter 3 di salah satu universitas negeri di Kota Bandung. Bagaimana menyikapi hal ini? Jawaban akan mudah dicari bila sms-nya adalah, "Saya ngerasa diare, saya mesti ngapain nih?"

Mengenai emosional dan hal-hal immateri lainnya yang melekat pada manusia inilah, yang tidak mudah. Tidak mudah dalam segala aspek. Tidak mudah untuk disimpulkan, tidak mudah untuk ditafsirkan, tidak mudah untuk digiring, dan ketidakmudahan lainnya. Bagaimana saya menjawab pertanyaan teman saya itu. Perihal motivasi, prinsip, sifat, kecenderungan, respon, perasaan, dan lainnya adalah wujud yang tidak berbentuk secara fisik. Untuk menjawab pertanyaan teman saya itu, nampaknya saya harus tahu dan mengerti field of experience dan frame of reference-nya. Itu mungkin salah satu caranya.

Selama itu tidak dikomuniaksikan, kita tidak akan pernah tahu. Alasan teman saya mengirim sms itu. Sikap terbaik untuk menyikapi hal tersebut adalah dengan positive thinking. Positive thinking inilah yang mesti ditularkan kepada setiap orang yang sedang menafsirkan tindak tanduk siapa pun yang belum bisa diketahui latar belakangnya. Sekalipun perilaku yang ditunjukkannya itu adalah perilaku yang negatif. Bagaimanapun perilaku yang nampak dari seseorang, semuanya itu berdasarkan hal-hal yang tidak berwujud. Bila yang muncul adalah hal negatif pula, apa bedanya dengan perilaku negatif tersebut.

Saya bisa berpikir teman yang mengirim sms saya itu orang yang pemalas atau berpikir dosen yang memberi tugas itu tidak berprikemanusiaan. Tetapi saya juga dapat berpikir bahwa teman saya memang sedang kelelahan dan dosennya sudah memberikan tugas sesuai porsinya. Berpikir yang mana ya?

Yang pasti saya tidak ingin ikut sakit. Hal negatif hanya akan membawa kepada ketidaktenangan. Ketidaktenangan hanya membawa pada ketidakdamaian.
Sebuah senyuman (lagi) ingin mengakhiri tulisan ini.

1 komentar:

menanggapi paragraf terakhir:

masalahnya, yang negatif di mata A bisa jadi positif di mata B. yang membuat gifar sakit, bisa jadi justru membuat orang lain lega, bebas, seneng.

menurut ami, ketidaktenangan muncul ketika kita menentang nurani kita. apakah yang dibisikan oleh nurani itu positif atau negatif, itu tak jadi soal (siapa juga yang bisa memutuskan itu positif atau negatif).

masalahnya, mungkin apa yang dibisikan oleh nurani setiap orang berbeda.

itulah yang harus kita pahami.


untuk temen gifar:
tdak ada yang memaksa dia untuk mengerjakan tugas itu. hidup adalah pilihan. yang harus diingat segala tindakan kita tersedia lengkap dengan konsekuensinya.

mengerjakan konsekuensinya A
tidak mengerjakan konsekuensinya B

tidak ada pula yang bisa memutuskan bahwa pilihan yang benar itu pilihan pertama atau kedua.


yang lumrah tidak selalu benar. yang tabu tidak selalu salah.

_mee_

Posting Komentar